Di luar terdengar
segerombolan ayam berkokok sangat merdu, seakan berkeinginan untuk membangunkan
para penghuni kos agar semua penghuni mendengar kemerduan itu yang bak nyanyian
hits dalam sebuah konser. Lebih dari enam ratus hari aku sudah mendengarnya,
setiap hari tanpa adanya jeda kecuali saat aku pulang kampung. Entahlah apa
yang dipikirkan pak kos saat memelihara ayam-ayam itu mengingat lahan kota
Surabaya yang sangat padat, jika ingat ia yang seorang pengusaha harusnya ia
lebih memilih membuat satu kamar kos dengan ukuran sedang bukan kandang ayam
yang seukuran dengan kamar manusia, tapi untunglah begitu karenanya aku sedikit
terhibur karena adanya pengganti dari sesuatu yang hilang.
“Ia yang merangkak naik ke langit, menyuruhmu segera bangkit. Mimpi yang kau lewati tadi, ajaklah keluar menyapa pagi. Cepatlah, sungguh ku ingin kau segera pergi, menyambutku yang sedang menanti.”
Kira-kira begitulah
sepenggal lirik lagu ciptaanmu. Enam ratus hari lalu lagu itu terputar, seperti
biasa aku serta tidurku merasa terganggu, betapa tidak nyanyian itu sungguh
tidak enak di dengar tapi aku tetap harus memakainya sebagai alarm karena
dengan begitu apresiasiku terhadap karyamu terbukti nyata, namun kini sebagai
bukti nyata bahwa semua sudah berbeda aku tidak pernah memakainya sebagai alarm
juga tidak menyimpannya dalam kumpulan mp3-ku.
Sudah enam ratus hari sejak
kejadian itu, aku tidak mengenal baik apa yang dirasa hatiku, selama itu aku
merasa bukan sepenuhnya hidup karena semua yang ku coba rasa tidak berrasa. Tahukah
kamu, tak terhitung banyaknya emosi yang bercampur baur karenanya, tak
terhitung doa dan harapan yang terpanjat, serta tak terhitung berapa ribu cara
yang telah ku lalui tapi tidak ada balasan dari ini semua. Dan apa kamu tahu,
sejak itu rasanya ada kegembiraan yang tidak sempurna, ada air mata yang masih
tertinggal dan ada cerita di mana belum diketahui hasilnya? Ku lewati semuanya
bukan sendirian atau denganmu, tapi dengannya. Namun, yang menjadi pertanyaan
adalah apakah kamu juga merasakannya? Barang sesaat saja, ku berharap kamu juga
pernah merasakannya agar semua tidak menjadi bertepuk sebelah tangan.
*****
Dering telepon yang sejak
tadi terdengar sengaja tidak aku acuhkan, biarlah berdering, biarlah ini
menjadi tanda bahwa aku tidak seperti enam ratus hari lalu. Hari ini aku
menginginkan ada perubahan lagi dalam diriku karena jika tidak semuanya akan
menggantung tidak akan pernah terselesaikan. Di hari ini ku ingin kegamblangan
antara aku, kamu, dan dia. Sungguh aku tahu akan berakibat seperti apa tapi aku
sudah terlalu tersiksa dengan enam ratus hari itu.
Dering itu lagi, sudah
lima misscall, darinya yang ku yakin
sedang mengkhawatirkanku, jangan berfikir ia mengkhawatirkan kondisiku seperti
biasanya tapi kini ia mengkhawatirkan hubungan kami. Ini semua karenamu, Fik.
Angkot yang ku tumpangi
telah berhenti di depan gedung fakultasmu. Sesaat aku melihat gedung tempatmu menimbah
ilmu, dalam hati aku turut bahagia karena cita-citamu terwujud.
Berbekal nama lengkapmu,
info organisasi yang kamu ikuti, tahun angkatanmu dan asal kotamu, langkahku
membelah jalanan dan para mahasiswa lain. Sesekali aku tanyakan namamu pada
mereka dan beruntung karena semua data dirimu serta kamu yang memang cukup
terkenal sekarang aku bisa melihatmu.
Tubuhku membeku, ada
gejolak yang tidak ku mengerti hadir di diriku. Aku menatap dirimu yang sedang
duduk pada bangku kosong dengan di hadapanmu ada kertas-kertas yang tidak ku
mengerti isinya. Ku pandangi lebih detail, rambutmu yang cepak, matamu yang tajam,
hidungmu yang tidak terlalu mancung, bibirmu yang tipis dan rahangmu yang
kokoh, satu komentarku, kamu tidak berubah Fik.
Kakiku melangkah lagi
sesuai instruksi otakku, perlahan ku dekati dirimu yang telah enam ratus hari
menghilang dari kehidupanku, namun kamu masih saja sibuk dengan pekerjaanmu.
Semakin ku dekati dirimu semakin ku ingat peristiwa itu. Maafkan aku, Fik meski
aku tidak yakin ini semua kesalahanku.
“Jangan pernah dekati Aya! Jangan pernah ke rumahnya lagi!”
ujar Adi saat itu.
Ragu, ku pandang dirimu yang sedang menatap Adi dengan
tatapan ingin protes. Aku yang ada di tengah-tengah kalian hanya bisa mendorong
tubuh Adi agar tidak bisa mendekatimu. Ku lihat sudut bibirmu yang sudah
terluka itu bergerak, ku yakin bukan untuk menggeram kesakitan karena luka tapi
karena kamu merasa telah diperlakukan tidak adil. Ku gelengkan kepalaku agar
bisa menghentikan bibirmu untuk mengeluarkan kata-kata yang akan membuatmu
lebih terluka.
“Aya milikku! Bukan milikmu! Jadi pergi dari sini, jangan
berada di daerah teritorial orang!” teriak Adi pada dirimu lagi.
Buram, semuanya tidak jelas karena air mataku yang
bercucuran, dan air mataku yang mengiringi kepergianmu.
Aku semakin mendekat, tidak aku hiraukan potongan masa lalu itu karena sekarang yang aku inginkan adalah membenahi semuanya.
“Fik,” seruku ketika
sudah ada di hadapanmu. Pelan kamu angkat kepalamu dan berhasil melihatku
secara utuh. Mataku dan matamu saling menatap namun tatapan itu berbeda. “Akhirnya
aku berhasil menemuimu,” kataku yang berusaha tidak mempedulikan kedataranmu. “I miss you.”
Kamu suka musim semi,
kamu bercita-cita akan ke negeri sakura saat musim semi namun taukah kamu aku
baru saja mengalami musim semi. Meski sedetik aku bisa merasakan datarmu mencair
hingga air itu seakan bunga yang berjatuhan di tanah, seperti musim semi.
Kamu tundukkan wajahmu
sebentar, terlihat rahangmu melonggar. Ku tahu waktunya sekarang untuk
meluncurkan semua kejujuran ini.
“Sepertinya dewa sedang
berpihak padaku karena bisa menemuimu, bisakah kita bicara? Tolong jangan
ditolak karena tolakan kali ini akan benar-benar membuatku hancur dan dengan
begitu kamu menegaskan bahwa hubungan kita berakhir dengan buruk.”
“Aku tidak pernah
menginginkan ini, Aya. Tapi posisiku yang mengharuskan begini. Adi benar, tidak
sepantasnya aku ada di tengah hubungan kalian.” Katanya sambil menatapku.
“Aku melakukan halku dan
kau melakukan halmu. Aku tidak berada di dunia ini untuk berbuat sesuai dengan
harapan-harapanmu. Dan kau tidak berada di dunia ini untuk berbuat sesuai
dengan harapan-harapanku. Kau adalah kau dan aku adalah aku. Dan apabila kita
saling bertemu maka hal itu baik. Kalau tidak, maka tidak berbuat apa-apa.”
ujarku pelan.
“Kutipan doa Gestalt-nya
Perls.” Katamu sambil tersenyum kecil.
“Maka dari itu, untuk
kali ini saja jangan memikirkan harapan orang lain, pikirkan harapanmu dan
jadikan nyata. Aku berbuat demikian, dan yang ingin aku katakan adalah aku
menyayangimu Fik. Aku menyukaimu, aku sangat mencintaimu,” ucapku yang tidak
terasa membuat air mataku tumpah.
Ku lihat kamu menunduk,
cukup lama hingga akhirnya kamu menatapku lagi dengan tatapan teduhmu seperti
dulu. “Aku juga merasakan hal yang sama, Aya,” katamu pelan.
“Jadi bisakah hubungan kita
membaik?” ucapku cepat setelah mendengar berita bagus itu.
Hening.
Kamu hanya menatapku dan aku menatapmu. Ruang dan waktu seakan berhenti saat itu. Harapanku seperti lagu yang dulu selalu membangunkanku, menghiasi awal hariku, aku ingin seperti dulu dengan status yang baru, ku harap kamu mengerti meski tidak pernah terucap, seharusnya kamu mengerti karena aku telah memberi kode akan hal itu. tapi... sudahlah, itu dulu.
Kamu hanya menatapku dan aku menatapmu. Ruang dan waktu seakan berhenti saat itu. Harapanku seperti lagu yang dulu selalu membangunkanku, menghiasi awal hariku, aku ingin seperti dulu dengan status yang baru, ku harap kamu mengerti meski tidak pernah terucap, seharusnya kamu mengerti karena aku telah memberi kode akan hal itu. tapi... sudahlah, itu dulu.
“Pasti. Asal kamu masih
bersama Adi dan aku di sampingmu sebagai sahabat, bukan orang yang ada di tengah-tengah
hubungan kalian. enam ratus hari sudah kita lewati dengan tidak bersama karena memang
sepertinya takdir hanya menginginkan kita untuk bersama dalam persahabatan.
Kamu tetap menjadi milik Adi dan aku yang masih menantikan kekasihku.”
Hening.
Kamu dengar mas Adi?
Itulah ending dari hubungan kita bertiga, aku masih milikmu walaupun hati ini
tidak sepenuhnya milikmu.