Rabu, 25 Februari 2015

600 Hari

Di luar terdengar segerombolan ayam berkokok sangat merdu, seakan berkeinginan untuk membangunkan para penghuni kos agar semua penghuni mendengar kemerduan itu yang bak nyanyian hits dalam sebuah konser. Lebih dari enam ratus hari aku sudah mendengarnya, setiap hari tanpa adanya jeda kecuali saat aku pulang kampung. Entahlah apa yang dipikirkan pak kos saat memelihara ayam-ayam itu mengingat lahan kota Surabaya yang sangat padat, jika ingat ia yang seorang pengusaha harusnya ia lebih memilih membuat satu kamar kos dengan ukuran sedang bukan kandang ayam yang seukuran dengan kamar manusia, tapi untunglah begitu karenanya aku sedikit terhibur karena adanya pengganti dari sesuatu yang hilang.
 “Ia yang merangkak naik ke langit, menyuruhmu segera bangkit. Mimpi yang kau lewati tadi, ajaklah keluar menyapa pagi. Cepatlah, sungguh ku ingin kau segera pergi, menyambutku yang sedang menanti.”
Kira-kira begitulah sepenggal lirik lagu ciptaanmu. Enam ratus hari lalu lagu itu terputar, seperti biasa aku serta tidurku merasa terganggu, betapa tidak nyanyian itu sungguh tidak enak di dengar tapi aku tetap harus memakainya sebagai alarm karena dengan begitu apresiasiku terhadap karyamu terbukti nyata, namun kini sebagai bukti nyata bahwa semua sudah berbeda aku tidak pernah memakainya sebagai alarm juga tidak menyimpannya dalam kumpulan mp3-ku.
Sudah enam ratus hari sejak kejadian itu, aku tidak mengenal baik apa yang dirasa hatiku, selama itu aku merasa bukan sepenuhnya hidup karena semua yang ku coba rasa tidak berrasa. Tahukah kamu, tak terhitung banyaknya emosi yang bercampur baur karenanya, tak terhitung doa dan harapan yang terpanjat, serta tak terhitung berapa ribu cara yang telah ku lalui tapi tidak ada balasan dari ini semua. Dan apa kamu tahu, sejak itu rasanya ada kegembiraan yang tidak sempurna, ada air mata yang masih tertinggal dan ada cerita di mana belum diketahui hasilnya? Ku lewati semuanya bukan sendirian atau denganmu, tapi dengannya. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah kamu juga merasakannya? Barang sesaat saja, ku berharap kamu juga pernah merasakannya agar semua tidak menjadi bertepuk sebelah tangan.
*****
Dering telepon yang sejak tadi terdengar sengaja tidak aku acuhkan, biarlah berdering, biarlah ini menjadi tanda bahwa aku tidak seperti enam ratus hari lalu. Hari ini aku menginginkan ada perubahan lagi dalam diriku karena jika tidak semuanya akan menggantung tidak akan pernah terselesaikan. Di hari ini ku ingin kegamblangan antara aku, kamu, dan dia. Sungguh aku tahu akan berakibat seperti apa tapi aku sudah terlalu tersiksa dengan enam ratus hari itu.
Dering itu lagi, sudah lima misscall, darinya yang ku yakin sedang mengkhawatirkanku, jangan berfikir ia mengkhawatirkan kondisiku seperti biasanya tapi kini ia mengkhawatirkan hubungan kami. Ini semua karenamu, Fik.
Angkot yang ku tumpangi telah berhenti di depan gedung fakultasmu. Sesaat aku melihat gedung tempatmu menimbah ilmu, dalam hati aku turut bahagia karena cita-citamu terwujud.
Berbekal nama lengkapmu, info organisasi yang kamu ikuti, tahun angkatanmu dan asal kotamu, langkahku membelah jalanan dan para mahasiswa lain. Sesekali aku tanyakan namamu pada mereka dan beruntung karena semua data dirimu serta kamu yang memang cukup terkenal sekarang aku bisa melihatmu.
Tubuhku membeku, ada gejolak yang tidak ku mengerti hadir di diriku. Aku menatap dirimu yang sedang duduk pada bangku kosong dengan di hadapanmu ada kertas-kertas yang tidak ku mengerti isinya. Ku pandangi lebih detail, rambutmu yang cepak, matamu yang tajam, hidungmu yang tidak terlalu mancung, bibirmu yang tipis dan rahangmu yang kokoh, satu komentarku, kamu tidak berubah Fik.
Kakiku melangkah lagi sesuai instruksi otakku, perlahan ku dekati dirimu yang telah enam ratus hari menghilang dari kehidupanku, namun kamu masih saja sibuk dengan pekerjaanmu. Semakin ku dekati dirimu semakin ku ingat peristiwa itu. Maafkan aku, Fik meski aku tidak yakin ini semua kesalahanku.

“Jangan pernah dekati Aya! Jangan pernah ke rumahnya lagi!” ujar Adi saat itu.
Ragu, ku pandang dirimu yang sedang menatap Adi dengan tatapan ingin protes. Aku yang ada di tengah-tengah kalian hanya bisa mendorong tubuh Adi agar tidak bisa mendekatimu. Ku lihat sudut bibirmu yang sudah terluka itu bergerak, ku yakin bukan untuk menggeram kesakitan karena luka tapi karena kamu merasa telah diperlakukan tidak adil. Ku gelengkan kepalaku agar bisa menghentikan bibirmu untuk mengeluarkan kata-kata yang akan membuatmu lebih terluka. 
“Aya milikku! Bukan milikmu! Jadi pergi dari sini, jangan berada di daerah teritorial orang!” teriak Adi pada dirimu lagi.
Buram, semuanya tidak jelas karena air mataku yang bercucuran, dan air mataku yang mengiringi kepergianmu.

Aku semakin mendekat, tidak aku hiraukan potongan masa lalu itu karena sekarang yang aku inginkan adalah membenahi semuanya.
“Fik,” seruku ketika sudah ada di hadapanmu. Pelan kamu angkat kepalamu dan berhasil melihatku secara utuh. Mataku dan matamu saling menatap namun tatapan itu berbeda. “Akhirnya aku berhasil menemuimu,” kataku yang berusaha tidak mempedulikan kedataranmu. “I miss you.”
Kamu suka musim semi, kamu bercita-cita akan ke negeri sakura saat musim semi namun taukah kamu aku baru saja mengalami musim semi. Meski sedetik aku bisa merasakan datarmu mencair hingga air itu seakan bunga yang berjatuhan di tanah, seperti musim semi.
Kamu tundukkan wajahmu sebentar, terlihat rahangmu melonggar. Ku tahu waktunya sekarang untuk meluncurkan semua kejujuran ini.
“Sepertinya dewa sedang berpihak padaku karena bisa menemuimu, bisakah kita bicara? Tolong jangan ditolak karena tolakan kali ini akan benar-benar membuatku hancur dan dengan begitu kamu menegaskan bahwa hubungan kita berakhir dengan buruk.”
“Aku tidak pernah menginginkan ini, Aya. Tapi posisiku yang mengharuskan begini. Adi benar, tidak sepantasnya aku ada di tengah hubungan kalian.” Katanya sambil menatapku.
“Aku melakukan halku dan kau melakukan halmu. Aku tidak berada di dunia ini untuk berbuat sesuai dengan harapan-harapanmu. Dan kau tidak berada di dunia ini untuk berbuat sesuai dengan harapan-harapanku. Kau adalah kau dan aku adalah aku. Dan apabila kita saling bertemu maka hal itu baik. Kalau tidak, maka tidak berbuat apa-apa.” ujarku pelan.
“Kutipan doa Gestalt-nya Perls.” Katamu sambil tersenyum kecil.
“Maka dari itu, untuk kali ini saja jangan memikirkan harapan orang lain, pikirkan harapanmu dan jadikan nyata. Aku berbuat demikian, dan yang ingin aku katakan adalah aku menyayangimu Fik. Aku menyukaimu, aku sangat mencintaimu,” ucapku yang tidak terasa membuat air mataku tumpah.
Ku lihat kamu menunduk, cukup lama hingga akhirnya kamu menatapku lagi dengan tatapan teduhmu seperti dulu. “Aku juga merasakan hal yang sama, Aya,” katamu pelan.
“Jadi bisakah hubungan kita membaik?” ucapku cepat setelah mendengar berita bagus itu.
Hening. 
Kamu hanya menatapku dan aku menatapmu. Ruang dan waktu seakan berhenti saat itu. Harapanku seperti lagu yang dulu selalu membangunkanku, menghiasi awal hariku, aku ingin seperti dulu dengan status yang baru, ku harap kamu mengerti meski tidak pernah terucap, seharusnya kamu mengerti karena aku telah memberi kode akan hal itu. tapi... sudahlah, itu dulu.
“Pasti. Asal kamu masih bersama Adi dan aku di sampingmu sebagai sahabat, bukan orang yang ada di tengah-tengah hubungan kalian. enam ratus hari sudah kita lewati dengan tidak bersama karena memang sepertinya takdir hanya menginginkan kita untuk bersama dalam persahabatan. Kamu tetap menjadi milik Adi dan aku yang masih menantikan kekasihku.”
Hening.
Kamu dengar mas Adi? Itulah ending dari hubungan kita bertiga, aku masih milikmu walaupun hati ini tidak sepenuhnya milikmu.