Jumat, 27 Juni 2014

CABANG TANGKAI BUNGA
Seluit sepasang manusia penuh keintiman dalam cahaya sore kemerahan. Tak jelas apa yang membuat mereka begitu terlihat intim dan bahagia. Mungkin karena sosok mereka yang berdekatan. Dan mungkin dari seyum dan mata mereka yang terpancar. Sepasang manusia yang serasi, memadu rasa yang tak jelas apa dan berlandaskan apa.
Mataku masih terpaku. Sepasang yang sangat ku kenal, tak perlu aku mempertegas mereka siapa dalam hidupku, yang jelas mereka adalah sepasang manusia yang dulu begitu berarti untukku. Tak kan pernah berarti hidupku tanpa mereka. Warna-warni dunia serta gemerlapnya tak kan pernah aku jamah jika aku tanpa mereka. Begitu berarti dan kini begitu menyakiti.
Perlahan tetes air mata terjatuh dari pelupuk mata. Segera tanganku menghapusnya, tidak boleh ada air mata. Dan.. ah, Ya ampun, aku merasa hatiku tercabik lagi. Cabikan yang sudah tak seberapa sakit dari pada dulu. Aku mengenyahkannya. Tidak boleh. Hal ini bukan sesuatu yang perlu di tangisi melainkan disyukuri. Biarkan rasa sakit karena cabikan itu mengalir dan musnah begitu saja. Ini hanya sementara, sakit ini hanya karena marah, sakit karena kecewa dan nantinya bahagia karena telah membalasnya.
Aku menghembuskan napas perlahan. Aku sudah sejauh ini berada di sini, di tengah taman yang hanya berjarak 10 meter dari pasangan itu. Mereka masih belum menyadari keberadaanku, tadinya begitu sulit dan berat menjalankan sepasang kaki ini untuk melangkah ke tempat ini. Dan kini hanya beberapa langkah lagi sampai pada tujuanku meski harus menggeret kaki ini lagi yang semakin mengelu.
Sempat aku menuruti sudut hati yang entah bagian mana untuk pergi dari sini tapi tidak, pergi berarti membawakan pasangan itu kalung bunga yang cantik sedang aku ingin mempersembahkan mereka sepasang ular. Sepasang ular yang bisa aku kenakan pada leher mereka seperti kalung. Sebuah hadiah yang pasti diluar dugaan yang mereka dan membuat mereka kehilangan napas.
Aku paksakan bibirku tersenyum sebagai latihan untuk diberikan kepada mereka sesaat lagi. Awalnya yang muncul hanya senyuman kecil dan sekilas mirip sebuah cengiran mencemooh. Tidak senyuman ini tidak bisa aku berikan pada mereka.
Percobaan kedua aku menarik sudut bibirku lebih lebar dan intensitas lebih lama. Tidak, senyuman ini juga tidak bisa diberikan pada mereka, senyuman kali ini mirip senyuman badut tolol.
Sekali lagi. Aku akan mencoba latihan tersenyum sekali lagi. Sebelum memulai aku terlebih dahulu membuang zat co2 lewat mulutku. Kutarik perlahan kedua sudut bibirku secara halus, tidak terlalu lebar dan dengan waktu yang cukup untuk tersenyum alami, ku tambahkan juga pancaran mata yang seakan ikut tersenyum. Sempurna.
Kakiku bergerak maju, langkah kecil dan sebisa mungkin terlihat tenang. Jarak ku dengan mereka semakin dekat dan hatiku... ah jujur ini masih terasa menyakitkan namun tidak, rasa ini harus hilang. Nantinya aku harus merasa bahagia melihat mereka tetap bersama atau pun berpisah.
“Sayang, kok ada di sini?” ujarku penuh dengan nada mesrah dan kerinduhan. Aku langsung memeluk sosok cowok dari pasangan itu. Tidak lupa aku juga mencubit pipinya seperti yang biasa aku lakukan dengan gemas disela-sela pelukanku. Gemas? Ah tidak sekarang bukan gemas namun lebih ke arah kebencian walaupun cubitannya tidak akan terasa sakit. “Miss you..” gumamku lembut.
Aku merasakan tangan si cowok mengapit pinggangku dan membalas pelukanku. Dan berbisik “Miss you too,” dengan sangat mesra seperti saat ia menembakku dulu.  Dalam hati aku tersenyum puas. Aku rasakan juga sebuah ciuman mendarat ke pipiku. Kini  dalam hati aku tertawa-tawa.
“Lihat dia lebih mengagumi dan menyayangiku ketimbang kamu,” ucap dari bagian diriku pada sang cewek. Aku memaklumi ucapan dari bagian diriku itu, yah cewek itu tidak akan pernah bisa mendapatkan pelukan dan ciuman ini di tengah keramaian dan bahkan disuatu tempat sepi sekalipun karena memang ia hanya daun yang ada di batang bungaku dan entah bagaimana caranya berubah menjadi bunga yang bercabang pada tangkaiku, kemudian membuat kumbangku memperhatikannya dan turut menghisap madunya.
Tak ada yang perlu disalahkan ataupun dibetulkan di sini, yang jelas aku akan segera membuat cabang tangkaiku patah agar ia hilang dan mati dalam kehidupanku, kemudian secepatnya aku memproduksi zat beracun untuk sang kumbang. Biar saja ia ikut mati saat menghisap madu bungaku.
“Sayang, kenapa nggak bilang sedang ada di sini sama Puspa?” tanyaku sambil menjauhkan tubuhku dari cowok itu. Namun usahaku gagal karena tangannya masih merengkuhku seakan tak mau melepaskanku.
“See? Dia tidak mau melepasku dan kamu akan segera dilepaskannya atas perintahku atau pun kemauannya,” kata bagian dari diriku lagi.
“Sayang, malu sama Puspa,” kataku lagi sambil menjauhkan tubuhku lagi namun kini dengan sedikit kasar. “Kasian dia kalau iri sama kita, dia ‘kan belum punya pacar,” tambahku sambil tersenyum ke arah Puspa. “Lain lagi kalau dia udah punya.”
Terlihat ia baru mengangkat wajahnya setelah perkataanku, sedetik aku menangkap ekspresinya yang sudah pasti marah karena harga dirinya sudah aku jatuhkan secara halus. 
 “Asal bukan dengan cara merebut pacar orang saja,” kataku lagi. Aku melihat ke arah mereka secara bergantian. Dino nampak pucat begitu pula Puspa. Itu ekspresi yang aku tunggu. Mau-tidak mau aku memaksakan sebuah tawa muncul, sebisa mungkin tidak hambar dan dalam waktu yang tidak terlalu singkat.
“Becanda. Nggak mungkinlah sahabatku ini melakukan sesuatu yang nggak beretika,” ujarku setelah tawaku berhenti.
Dino akhirnya tersenyum padaku sambil membelai rambutku yang lurus sebahu dengan lembut.
Puspa juga ikut tersenyum, namun ia tidak bisa berakting sebaik diriku. Senyumnya nampak terpaksa.
“Santi, Dino. Aku balik duluan ya kasian Bunda nunggu aku terlalu lama,”ucap Puspa dengan nada lemah lembutnya dan berlalu begitu saja sebelum mendapat tanggapan dari kami.
Aku menatap langkah cewek itu, begitu cepat dan terasa begitu getir. Sebisa mungkin aku mengendalikan rasa simpatiku, rasa itu harus hilang. bukan aku yang memulainya tapi dia. 
Pelan ku hembuskan napas lalu tersenyum pada Dino. Terlihat ia balas tersenyum. 
Bagaimana bisa aku tidak mengetahuinya? Kalian yang tidak secerdik kancil. Perselingkuhan kalian yang tak serapi caraku menghancurkan kalian seperti kepercayaanku pada kalian yang telah berserakan dan tak akan ku pungut lagi," kataku dalam hati

Selasa, 01 April 2014

Cerpen-LIMA


“Jika aku menyukaimu apa kamu juga menyukaiku?”
Viky menatap cewek yang ada dihadapannya dengan alis terangkat. Ia tidak menyangka cewek itu berkata demikian. Apa cewek ini sudah gila?
“Jawab. Kalau aku menyukaimu apa kamu juga menyukaiku?” tanya cewek itu lagi.
“Kamu sudah gila?” kata itu meluncur dari mulut Viky begitu saja.
Mendengar hal itu, cewek itu tertawa entah apa yang ditertawakan. Jarinya yang lentik menyentuh pipi Viky yang mulai menegang. “Ya. Aku gila,” jawabnya sambil menatap Viky menantang.
Viky terdiam beberapa saat. Apa benar cewek yang ada dihadapannya menyukainya? Jika benar, apa yang ia sukai pada dirinya? Pasti ini hanya mimpi. Batin Viky sambil melangkah melewati cewek itu.
Sesaat cewek itu belum menyadari apa yang terjadi. Cewek itu diam dengan pandangan tak percaya. “Apa kamu masih menyukai dia?” ucap cewek itu lagi setelah mendapatkan kembali kesadarannya.
Viky berhenti melengkah. Mendengar hal itu entah mengapa membuatnya teringat oleh seseorang. Ia segera menghapus ingatannya dan kembali melangkah. Kenapa juga ia mendengarkan omong kosong cewek itu.
“Sadar. Dia sudah meninggalkanmu,” kata cewek itu lagi.
Viky mendengar semua perkataan cewek itu tapi tidak menanggapi. Ia terus berjalan melewati koridor kampus. Ia terus berjalan seperti sebelum-sebelumnya. Ia akan berjalan, dan terus berjalan, tidak kan pernah berhenti. Dalam kamusnya juga tidak ada goresan cewek yang mampu menghalangi langkahnya. Benarkah?
*****
Beberapa tahun yang lalu....
Desiran angin pagi yang segar memeluk tubuhnya, ia mengeratkan jaketnya hingga angin tersebut tidak bisa masuk kedalam tulang-tulangnya. Ia berjalan kaki ditengah hiruk-pikuk jalanan yang telah ramai dengan bejubel alat transportasi kota secara hilir-mudik. Asap dan debu berbaur menjadi satu sehingga membuat kota semakin dipadati oleh polusi. Berbagai suara klakson alat transportasi terdengar, terdengar juga suara teriakan dengan nada geram. Gelengan kepala tak mengerti akan tingkah laku manusia-manusia itu tercipta olehnya.
Ia mempercepat langkahnya ketika jam tangannya telah menunjukkan pukul setengah 6 pagi. Ia berjalan tanpa memperdulikan hiruk-pikuk itu. napasnya tersengal-sengal ketika langkahnya terhenti di depan gerbang sekolah. Ia mendongakkan kepalanya ke atas, ‘SMA UTAMA’ ia telah berada di sekolahnya, di sekolah yang sangat ia banggakan.
Ia memutuskan untuk berjalan kembali, ia memasuki gedung sekolahnya yang masih sepi, ia yakin ia adalah siswa pertama-ralat orang pertama selain pak Bon yang memasuki gedung sekolah ini.
“Hei.... aku lima menit lebih dulu dari kamu!”
Terdengar suara nyaring yang melengking, Viky menoleh ke arah suara. ia melihat seorang cewek dengan seragam sekolah yang berbeda dengannya tersenyum melecehkan, namun ia nampak cantik.
“Oke, kali ini kamu yang menang,” kata Viky setelah tersadar dari pesona cewek itu.
“Apa? Kali ini? Sudah lima kali ini,” ralat cewek itu sambil menunjukkan ke-lima jarinya.
“Lalu, apa maumu?” tanya Viky, memutuskan untuk mengakui kekalahannya.
“Es Krim spongebob lima,” jawab cewek itu sambil memamerkan senyumnya yang menawan.
“Selalu saja seperti ini,” gumam Viky sambil berjalan mendekati cewek itu. “Oke, nanti aku belikan. Es krim spongebob lima. Jam tiga aku tunggu di tempat biasanya,” kata Viky sambil berjalan melewati cewek itu.
“Harus pukul LIMA sore!” kata cewek itu yang berhasil membuat Viky membalikkan badannya hingga bisa melihat cewek itu.
Viky menatap cewek itu dengan tidak suka. “Aku ada kurr--” protesnya terhenti.
“Pukul lima sore. Bye,” potong cewek itu sambil berlari meninggalkan Viky dengan rasa jengkelnya.
Selalu saja seperti itu, menemui cewek itu di hari Rabu dengan berlari secepat yang ia bisa untuk menuju ke sekolah dilanjut pada sore hari di sebuah taman sekolahnya dengan membawakan es krim spongebob lima di pukul lima sore. Kegiatan itu sudah ia lakukan berkali-kali, ia menghitung-tepatnya cewek itu yang menghitung sudah lima kali dengan hari ini.
Ia menatap punggung cewek itu yang semakin menjauh, entah mengapa senyum kecil melintasi wajah Viky. Cewek itu benar-benar membuatnya tidak karuan. Bisa-bisanya ia di buat seperti ini oleh cewek bodoh dari sekolah sebelah, sekolah dimana kualitasnya sangat rendah, berbeda dengan sekolahnya.
Viky segera menghapus fikiran-fikiran aneh yang tiba-tiba muncul. Ia memutuskan untuk pergi ke kantin ia bisa membuka buku pelajarannya selama satu jam di sana. Setiap waktu tidak boleh terbuang sia-sia.
*****
“Sudah lima menit aku menunggu kamu,” ujar Viky dengan kesal ketika cewek itu telah datang dan kini telah duduk di sampingnya. “Bukankah aku bilang kalau aku mau kursus? Jam setengah enam aku harus kursus matematika,”
“Ya..ya..ya. aku sudah mendengar lima kali kalimat itu” balas cewek itu dengan wajah bosan.
“Dan untuk ke-lima kalinya kamu tidak pernah mau tahu!” sergah Viky dengan nada yang tidak kalah sebalnya.
Mereka duduk di sebuah taman yang membatasi antara ‘SMA UTAMA’ dan ‘SMA UNGGUL. SMA UTAMA yang berdiri megah hingga lantai 6 dilengkapi oleh fasilitas yang memadai membuat SMA UTAMA menjadi sekolah terfavorit. Sedangkan SMA UNGGUL hanya memiliki gedung yang berlantai satu dengan fasilitas yang tidak lengkap menjadikannya sekolah musiman. Sekolah musiman adalah julukan SMA UNGGUL, mereka memiliki murid yang sedikit seperti musim yang ada di Indonsia. Murid 50 adalah rekor terbesar sekolah itu, sedangkan SMA UTAMA setiap tahun kebanjiran siswa yang ingin bersekolah disana dari mulai putra pejabat sampai putra orang biasa, meskipun demikian hanya anak-anak yang berprestasilah yang dapat bersekolah di sana.
 Seperti halnya sekolah, mereka pun demikian. Viky sang siswa SMA UTAMA adalah siswa yang paling berprestasi, ia telah mengukir banyak prestasi di berbagai bidang dari mulai akademik hingga non akedemik. Sedangkan cewek yang ada di sebelah Viky adalah siswi SMA UNGGUL dimana dia adalah anak termalas dan terbodoh disekolahnya. Hal itu diketahui Viky karena secara tidak sengaja ia pernah mendengarkan percakapan antara guru BK dengan cewek itu ketika ia sedang mendapat tugas ke SMA UNGGUL untuk mengundang sekolah itu dalam acara Olimpiade tahunan.
“Nih..” ucap Viky sembari menyerahkan es krim pesanan cewek itu.
Dengan semangat cewek itu meraih ke-lima es krimnya. Es krim itu ia lahap sendiri, ia tidak peduli dengan tatapan Viky yang menatapnya dengan pandangan mengejek. Ia sudah kebal dengan pandangan itu.
“Terima kasih” ujar cewek itu kepada Viky dengan seulas senyuman dan pancaran kegembiraan.   
Viky menggeleng-gelengkan kepalanya secara samar. Dosa apa ia sampai bisa bertemu dengan cewek semacam ini. Dalam waktu sekitar lima belas menit dia mampu menghabiskan es krim sebanyak itu. “Doyan atau rakus?”
“Untuk yang kelima kalinya kamu bertanya seperti itu,” kata cewek itu yang tidak menjawab pertanyaan Viky.
Mereka duduk bersebelahan dengan saling berdiam diri tidak ada yang memulai percakapan. Mereka menikmati indahnya sore di taman yang sepi. Langit mulai terlihat menggelap tapi entah mengapa mood mereka tidak turut menggelap, mood mereka seperti matahari yang bersinar cerah.
Viky menghembuskan napasnya dan melirik cewek yang duduk di sebelahnya. Cewek itu nampak tersenyum entah karena apa. Untuk sesaat ia mengagumi senyum cewek itu, untuk kesekian kalinya ia terpesona dengan senyum itu. Senyum yang selau berhasil membuatnya melambung.
“Kita lomba lari,” cetus cewek itu tiba-tiba.
Mendengar hal itu alis Viky terangkat tapi tidak menanggapi ide gila cewek itu.
“Kita lomba lari mengelilingi taman sebanyak lima kali,” ucap cwek itu lagi mempertegas idenya.
“Nggak!” jawab Viky cuek sambil mengalihkan pandangannya dari cewek itu.
“Kalau kamu kalah berarti kamu jadi pacar aku,” kata cewek itu yang mampu membuat Viky terloncat kaget. Apa cewek ini sudah gila? “Serius. Kita pacaran”  tambahnya sambil memamerkan senyumnya yang manis.
Viky terbelalak sambil terus menatap cewek di sampingnya. Yah... cewek ini pasti sudah gila.
“Dimulai dari sekarang” ucapnya beranjak dari bangku taman dan mulai berlari.
“Curang!” protes Viky sambil membuntuti cewek itu berlari.
Viky berlari dengan sekuat tenaga. Pacaran dengan cewek itu? Itu adalah hal paling bodoh yang pernah ia lakukan. Ia mempercepat larinya, mana mungkin ia yang atlet lari setingkat kota bisa dikalahkan oleh cewek kurus seperti dia.
Dia berlari sekuat tenaga. Tapi entah mengapa otot-otot kakinya semakin melemas. Ototnya seakan ingin memenangkan cewek itu dalam perlombaan ini. Bukankah cewek ini memang sudah menang darinya, sebelum ia mulai cewek ini sudah menang, ia sudah memenangkan hatinya.
Di putaran terakhir cewek itu berlari dengan lamban, terdengar suara hembusan napas yang tersiksa. Viky semakin melambatkan larinya.
“Aku menang. Kita pacaran!” ujar cewek itu dengan ceriah setelah menyelesaikan perlombaannya.
“Terserah kamu sajalah,” jawab Viky cuek tapi dalam hati ia tersenyum, ia tidak pernah mengalami kekalahan yang menyenangkan seperti ini.
“Kita pacaran selama lima hari.”
Viky menatap cewek itu dengan terkejut, kecewa dan bingung.
“Kita akan pacaran selama lima hari,” kata cewek itu mempertegas.
“Tidak. Kita akan pacaran lima tahun dan akan menikah,” ucap Viky tidak menyetujui ujapan cewek itu. Entah mengapa ucapan itu meluncur begitu saja dan hatinya meyakininya. Cewek itu yang akan menjadi pendampingnya kelak.
“Lima hari,” bantah cewek itu sambil tersenyum.
*****
“Lima... I love you” ucap Viky di depan pusara cewek yang mampu memenangkan hatinya hanya dalam waktu yang singkat. Ucapan itu berhasil ia ungkapkan setelah cewek itu meninggalkannya untuk selamanya. menyesal? Tidak, ia tidak akan menyesalinya.
Selamanya pula ia akan terus mengenangnya. Yah... cewek itu hanya mampu menjadi pacarnya selama lima hari tapi lima hari itu adalah lima hari termanis yang pernah ia tempuh. Setelah lima hari, cewek itu meninggalkannya. Ia meninggal dengan cara bunuh diri, ia melakukannya karena ia tidak mau membebani semua orang yang mencintainya. Penyakit leukimia yang membuatnya seperti itu.
Viky tersenyum lagi kepada pusara seakan ia bisa tersenyum pada si empunya. “Selamat jalan, semoga kamu bahagia di sana,” ujarnya dan berdiri meninggalkan makam Lima. Ia meninggalkan makam cewek itu dan memulainya dari awal. Ia akan terus berjalan dan menghidupkan dunianya seperti halnya Lima yang telah menghidupkan dunianya.
Lima hari termanis. Lima hari yang mampu membuatnya mengenang Lima untuk selamanya.
Lima Mandala, 05 Mei 1996-05 Mei 2013