CABANG TANGKAI BUNGA
Seluit sepasang manusia
penuh keintiman dalam cahaya sore kemerahan. Tak jelas apa yang membuat mereka
begitu terlihat intim dan bahagia. Mungkin karena sosok mereka yang berdekatan.
Dan mungkin dari seyum dan mata mereka yang terpancar. Sepasang manusia yang
serasi, memadu rasa yang tak jelas apa dan berlandaskan apa.
Mataku masih terpaku.
Sepasang yang sangat ku kenal, tak perlu aku mempertegas mereka siapa dalam
hidupku, yang jelas mereka adalah sepasang manusia yang dulu begitu berarti
untukku. Tak kan pernah berarti hidupku tanpa mereka. Warna-warni dunia serta
gemerlapnya tak kan pernah aku jamah jika aku tanpa mereka. Begitu berarti dan
kini begitu menyakiti.
Perlahan tetes air mata
terjatuh dari pelupuk mata. Segera tanganku menghapusnya, tidak boleh ada air
mata. Dan.. ah, Ya ampun, aku merasa hatiku tercabik lagi. Cabikan yang sudah
tak seberapa sakit dari pada dulu. Aku
mengenyahkannya. Tidak boleh. Hal ini bukan sesuatu yang perlu di tangisi
melainkan disyukuri. Biarkan rasa sakit karena cabikan itu mengalir dan musnah
begitu saja. Ini hanya sementara, sakit ini hanya karena marah, sakit karena kecewa
dan nantinya bahagia karena telah membalasnya.
Aku menghembuskan napas
perlahan. Aku sudah sejauh ini berada di sini, di tengah taman yang hanya
berjarak 10 meter dari pasangan itu. Mereka masih belum menyadari keberadaanku,
tadinya begitu sulit dan berat menjalankan sepasang kaki ini untuk melangkah ke
tempat ini. Dan kini hanya beberapa langkah lagi sampai pada tujuanku meski
harus menggeret kaki ini lagi yang semakin mengelu.
Sempat aku menuruti sudut
hati yang entah bagian mana untuk pergi dari sini tapi tidak, pergi berarti
membawakan pasangan itu kalung bunga yang cantik sedang aku ingin
mempersembahkan mereka sepasang ular. Sepasang ular yang bisa aku kenakan pada
leher mereka seperti kalung. Sebuah hadiah yang pasti diluar dugaan yang mereka dan membuat mereka kehilangan napas.
Aku paksakan bibirku
tersenyum sebagai latihan untuk diberikan kepada mereka sesaat lagi. Awalnya yang
muncul hanya senyuman kecil dan sekilas mirip sebuah cengiran mencemooh. Tidak
senyuman ini tidak bisa aku berikan pada mereka.
Percobaan kedua aku
menarik sudut bibirku lebih lebar dan intensitas lebih lama. Tidak, senyuman
ini juga tidak bisa diberikan pada mereka, senyuman kali ini mirip senyuman
badut tolol.
Sekali lagi. Aku akan
mencoba latihan tersenyum sekali lagi. Sebelum memulai aku terlebih dahulu
membuang zat co2 lewat mulutku. Kutarik perlahan kedua sudut bibirku
secara halus, tidak terlalu lebar dan dengan waktu yang cukup untuk tersenyum
alami, ku tambahkan juga pancaran mata yang seakan ikut tersenyum. Sempurna.
Kakiku bergerak maju,
langkah kecil dan sebisa mungkin terlihat tenang. Jarak ku dengan mereka
semakin dekat dan hatiku... ah jujur ini masih terasa menyakitkan namun tidak,
rasa ini harus hilang. Nantinya aku harus merasa bahagia melihat mereka tetap bersama
atau pun berpisah.
“Sayang, kok ada di
sini?” ujarku penuh dengan nada mesrah dan kerinduhan. Aku langsung memeluk
sosok cowok dari pasangan itu. Tidak lupa aku juga mencubit pipinya seperti
yang biasa aku lakukan dengan gemas disela-sela pelukanku. Gemas? Ah tidak
sekarang bukan gemas namun lebih ke arah kebencian walaupun cubitannya tidak
akan terasa sakit. “Miss you..”
gumamku lembut.
Aku merasakan tangan si
cowok mengapit pinggangku dan membalas pelukanku. Dan berbisik “Miss you too,” dengan sangat mesra
seperti saat ia menembakku dulu. Dalam
hati aku tersenyum puas. Aku rasakan juga sebuah ciuman mendarat ke pipiku.
Kini dalam hati aku tertawa-tawa.
“Lihat dia lebih mengagumi
dan menyayangiku ketimbang kamu,” ucap dari bagian diriku pada sang cewek. Aku
memaklumi ucapan dari bagian diriku itu, yah cewek itu tidak akan pernah bisa
mendapatkan pelukan dan ciuman ini di tengah keramaian dan bahkan disuatu
tempat sepi sekalipun karena memang ia hanya daun yang ada di batang bungaku
dan entah bagaimana caranya berubah menjadi bunga yang bercabang pada tangkaiku,
kemudian membuat kumbangku memperhatikannya dan turut menghisap madunya.
Tak ada yang perlu disalahkan
ataupun dibetulkan di sini, yang jelas aku akan segera membuat cabang tangkaiku
patah agar ia hilang dan mati dalam kehidupanku, kemudian secepatnya aku memproduksi zat beracun untuk sang kumbang. Biar saja ia ikut mati saat menghisap madu bungaku.
“Sayang, kenapa nggak
bilang sedang ada di sini sama Puspa?” tanyaku sambil menjauhkan tubuhku dari
cowok itu. Namun usahaku gagal karena tangannya masih merengkuhku seakan tak
mau melepaskanku.
“See? Dia tidak mau melepasku dan kamu akan segera dilepaskannya
atas perintahku atau pun kemauannya,” kata bagian dari diriku lagi.
“Sayang, malu sama
Puspa,” kataku lagi sambil menjauhkan tubuhku lagi namun kini dengan sedikit
kasar. “Kasian dia kalau iri sama kita, dia ‘kan belum punya pacar,” tambahku sambil
tersenyum ke arah Puspa. “Lain lagi kalau dia udah punya.”
Terlihat ia baru
mengangkat wajahnya setelah perkataanku, sedetik aku menangkap ekspresinya yang
sudah pasti marah karena harga dirinya sudah aku jatuhkan secara halus.
“Asal bukan dengan cara merebut pacar orang
saja,” kataku lagi. Aku melihat ke arah mereka secara bergantian. Dino nampak
pucat begitu pula Puspa. Itu ekspresi yang aku tunggu. Mau-tidak mau aku
memaksakan sebuah tawa muncul, sebisa mungkin tidak hambar dan dalam waktu yang
tidak terlalu singkat.
“Becanda. Nggak
mungkinlah sahabatku ini melakukan sesuatu yang nggak beretika,” ujarku setelah
tawaku berhenti.
Dino akhirnya tersenyum
padaku sambil membelai rambutku yang lurus sebahu dengan lembut.
Puspa juga ikut
tersenyum, namun ia tidak bisa berakting sebaik diriku. Senyumnya nampak
terpaksa.
“Santi, Dino. Aku balik
duluan ya kasian Bunda nunggu aku terlalu lama,”ucap Puspa dengan nada lemah
lembutnya dan berlalu begitu saja sebelum mendapat tanggapan dari kami.
Aku menatap langkah cewek
itu, begitu cepat dan terasa begitu getir. Sebisa mungkin aku mengendalikan rasa simpatiku, rasa itu harus hilang. bukan aku yang memulainya tapi dia.
Pelan ku hembuskan napas lalu tersenyum pada Dino. Terlihat ia balas tersenyum.
Bagaimana bisa aku tidak
mengetahuinya? Kalian yang tidak secerdik kancil. Perselingkuhan kalian yang
tak serapi caraku menghancurkan kalian seperti kepercayaanku pada kalian yang
telah berserakan dan tak akan ku pungut lagi," kataku dalam hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar