Kamis, 26 Maret 2015

KEMBALI


Ada yang kembali
Singgah beberapa waktu
Singgah sebagai pengingat dia ada

Dia yang kembali
Bukan singgah untuk selamanya
Tapi hanya satu helaan napas
Begitu singkat, begitu berat

Dia yang kembali
Akan kembali bukan di tempat ini
Akan kembali menjadi dirinya yang seorang penjelajah
Menjadi pemimpi yang mewujudkan mimpi tingginya

Dia yang kembali
Entahlah...
Mungkin tak berjodoh
Atau mungkin kita memang dijodohkan untuk berjarak

Dia yang kembali
Aku melepasmu, Pergilah ...
Aku akan menikmatinya, menikmati saat kau pergi tak terjangkau olehku

Dia...
Kembali untuk kembali
Kembali untuk pergi jauh

Tidak Jauh

Sembraut warna merah menyebar di atas langit yang tadinya berwarna biru. Burung-burung beterbang serta berkicau seakan ingin menjadi saksi turunnya sang fajar dan terlihatnya sang rembulan serta bintang. Detik demi detik, menit demi menit berjalan sesuai rencanaNYA hingga langit menghitam dan bulan serta bintang menguasai sang malam.
Dari bawah terlihat seorang gadis yang bernama Cahaya sedang berjalan tergesah-gesah, sinar bintang dan lampu-lampu jalan menerangi langkahnya. Ia menatap jam tangan yang dikenakan, ia dibuat semakin panik sesudahnya, ia mempercepat lajunya.
Cahaya harus melalui gang-gang sempit yang mengharuskannya lebih hati-hati agar tidak bersenggolan dengan dinding dan juga pengguna jalan lain. Ia sedikit bernapas lega setelah sampai di sebuah gedung A kampusnya yang menjadi tujuannya.
“Telat sepuluh menit. Ayo cepat!” seru seorang pria saat ia akan menaiki anak tangga.
Ia mendongakkan kepalanya untuk mengetahui si empu suara. Ternyata Chandra, salah seorang pegawai perpustakaan di kampusnya. Ia hanya mengangguk untuk menanggapi seruannya setelahnya ia memberi kode untuk melanjutkan langkahnya menuju kelasnya. 
Sesampainya di depan kelas ia mengetuk pintu, tanpa menunggu balasan dari seseorang yang berada di dalam kelas ia langsung membuka pintu.  
“Cahaya Wulandari?” seru seorang wanita paruh baya yang ia ketahui sebagai dosennya dengan nada tinggi menyerukan nama lengkap gadis itu.
“Maaf Bu saya terlambat karena tadi ada kerjaan tambahan dari kantor,” ucap Cahaya menanggapi.
“Lagi?” tanya sang dosen dengan nada mengejek sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu sudah memutuskan untuk kuliah sambil kerja, seharusnya manajemen waktumu juga diefektifkan. Kali ini saya tidak bisa mentolerir keterlambatan kamu, keluar dari kelas saya!” ujar sang dosen dengan ketus.
“Tapi bu....” ucap gadis itu ingin membela diri.
“Keluar!” ujar wanita paruh baya itu dengan mengibaskan tangannya tanda mengusir.
Mau tidak mau Cahaya menuruti perintah sang dosen. Ia memundurkan langkahnya kemudian menutup pintu kelas. Ia berjalan meninggalkan kelasnya dan memilih menuju perpustakaan sambil menunggu kuliah jam keduanya.
Sesampainya di depan perpustakaan ia membuka pintu perpustakaan dengan tak bertenaga karena ia merasa jengkel atas perlakuan dosennya. Sapaan dari penjaga perpus terdengar. Ia menoleh pada asal suara dan benarlah bahwa Chandra orangnya. Ia memilih untuk berjalan ke arah pria itu. Dalam perjalanan ia sedikit terkejut dengan penampilan pria itu yang tidak ia perhatikan tadi saat berpapasan, karena sepengetahuannya Chandra adalah pria yang cuek dengan penampilannya, sehari-harinya pria itu hanya menggunakan hem yang lengannya ditekuk sembarangan sampai siku serta ujung bajunya tidak ia masukkan ke dalam celananya, rambut yang tidak tersisir rapi namun kali ini berbeda.
“Rapi? Hayo mau ketemu siapa?” ujar gadis tersebut dengan nada menyelidik.
“Biasa saja,” jawab pria itu singkat.
Tentu ia tidak percaya. Ia lebih mengamati pria yang kini ada di hadapannya. Chandra memakai hem garis-garis berwarna biru lengan panjang yang dikancing rapi, bajunya dimasukkan ke dalam celana panjang berwarna hitam dengan rapi, rambutnya terlihat habis disisir rapi hingga tidak ada satu pun rambut yang keluar dari jalurnya, wajahnya terlihat fresh tanpa keringat hingga membuat wajah pria itu nampak lebih tampan dari biasanya.
Melihat perubahan yang drastis itu ia semakin tidak percaya, namun ia bukan tipe orang yang suka memaksa orang untuk bercerita padanya jadi ia memilih untuk tersenyum seraya berkata, “semoga sukses,” dan beranjak menuju rak-rak buku.
“Atas?”
Suara pria itu menghentikan langkahnya. “Atas semua yang akan, saat dan sesudah kamu kerjakan,” jawab gadis itu sambil melenggang pergi.
“Tas!”
Suara Chandra menghentikan langkah Cahaya lagi, ia menoleh “hmm?” gumamnya.
“Tas ditaruh di tempatnya,” ujar Chandra sambil menunjuk lemari tas yang tersedia.
Mendengar itu ia menyeringai kecil kemudian melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Chandra. Setelahnya ia berjalan menuju rak-rak buku psikologi. Ia mencari buku psikologi yang isinya terkait cinta. Sudah sejak lama ia ingin tahu definisi yang sebenarnya dari cinta namun baru sekarang ia menuruti keinginannya tersebut. Mungkin karena sekarang ia sedang ingin memastikan perasaannya.
Ia mendapatkan buku yang ia cari. Ia memutuskan untuk membaca buku tersebut di meja yang telah disediakan. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat wajah Chandra yang nampak serius dengan pekerjaannya. Tanpa sengaja ia tersenyum dibuatnya. Ia selalu suka melihat wajah serius dari pria itu. Deg.. ia merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, ini selalu terjadi disaat-saat seperti ini. Mungkinkah ini?
Tiba-tiba mata gadis itu melebar ketika melihat pemandangan yang tak biasa. Chandra tersenyum lebar tapi bukan padanya melainkan pada seorang gadis yang sedang berjalan menghampirinya. Melihat itu ia merasa sangat kecewa karena selama ini ia tidak pernah mendapatkan senyuman itu. Dari tempatnya, ia menyaksikan berkali-kali senyuman itu hadir disela-sela percakapan mereka yang tidak bisa ia dengar. Sekarang ia tahu alasan perubahan penampilan Chandra, pastilah untuk gadis itu.
Ia menundukkan kepalanya tak mau menatap arah sana lagi, ia tidak mau perasaannya semakin teraduk karenanya. Dan karena itulah ia meyakini bahwa perasaannya pada Chandra adalah cinta tapi cinta itu hanya miliknya, cintanya bertepuk sebelah tangan dan ia harus rela dengan semua ini.  
*****
“Aku suka kamu menuruti saranku. Kamu tampak jauh lebih baik dari sebelumnya,” kata Tania dengan puas sambil mengamati penampilan Chandra.
Chandra tersenyum kepada cewek yang ada di hadapannya. “Oh ya?”  
“Jelas iya. Dengan begini aku yakin pasti kamu bakal sukses menaklukkan gadis itu,” kata Tania penuh keyakinan dan mau-tidak mau Chandra harus menggelengkan kepala atas ulah gadis itu namun setelahnya ia tersenyum lebar sebagai kata ganti ‘amin’ karena itulah yang ia harapkan. “Jangan lupa traktir kalau sudah berhasil,” kata gadis itu lagi dengan nada berbisik dan ditutup oleh senyuman.
“Kamu orang pertama yang mendapatkannya,” jawab Chandra dengan berbisik pula dan membalas senyumannya itu.
“Akan ku tunggu. Tepati janji kamu, siapa dia? Apa dia ada di sini?” tanya Tania.
Chandra mengangguk, “ke arah jam 12,” jawabnya sambil melirik sekilas pada meja tempat gadis yang ia cintai berada.
Tania langsung menuruti perintahnya, “Cahaya?” ujarnya kaget karena ia tidak menyangka Chandra mencintai teman yang satu jurusan dengannya walaupun beda angkatan, karena memang Chandra tidak pernah memberitahu nama gadis yang dicintainya, Chandra hanya memberi ciri-ciri gadis tersebut dan barulah kali ini Chandra memberitahu siapa gadis tersebut sesuai janjinya.
“Ssttt..” gumam Chandra sebal. Dalam hati Chandra mengutuk gadis ini.
Mendaptkan itu Tania tersenyum minta maaf atas perbuatannya. “Sori. Itu karena aku terlalu terkejut. Nggak nyangka aja ternyata Cahaya orangnya,” katanya lirih. “Kalau begitu aku pergi dulu. Pepet terus sampai dia merepet. Semangat!” ujarnya lagi yang ditutup dengan senyuman lebar lalu pergi meninggalkan perpustakaan.
Chandra menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian ia mengarahkan pandangannya untuk menatap gadis yang berhasil membuatnya merubah penampilannya dan sedikit banyak cara berfikir serta kepribadiannya yang sedikit banyak selalu acuh tak acuh. Yah.. dia telah merubah hidupnya dengan cara-caranya yang mengesankan tanpa terkesan menggurui.
 Chandra mencoba untuk fokus dalam pekerjaannya tanpa memikirkan Cahaya terlebih dahulu. Ia menyalin laporan peminjaman buku ke dalam komputer. Dalam pengerjaannya ia berusaha untuk tidak terganggu oleh bayang-bayang gadis itu tapi semakin ia mencoba menepis bayangan itu semakin jelas.
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan maksud untuk mengusir bayangan tersebut. Kembali, ia menatap arah jam 12, matanya melebar seketika ketika melihat gadis yang ia cintai sedang terlibat pembicaraan dengan seorang pria yang cukup sering ia jumpai terlebih saat bersama Cahaya. Entah mengapa perasaan tidak suka juga kegeraman merasukinya. Ia terus mencoba bertahan di tempatnya karena tidak mungkin ia langsung mendatangi gadis itu dan melabrak mereka karena kecemburuannya. Lagi, posisinya sekarang adalah bukan siapa-siapa jadi ia tidak berhak melakukannya.
Ia terus memperhatikan gerak-gerik Cahaya dengan pria di sampingnya. Pertahanannya hancur seketika saat ia melihat tangan Cahaya digenggam oleh lelaki itu dan yang membuatnya semakin hancur ketika ia melihat sebuah tatapan serta senyuman lebar dari keduanya. Terlihat mereka begitu mesrah.
Tangan Chandra mengepal karena kegeramannya. Kini ia menyadari posisinya yang sebenarnya dan perubahan yang ia lakukan telah sia-sia.
*****
Keesokan harinya...
“Ndra, buku yang kemarin mau aku pinjam masih ada?” terdengar suara gadis yang sangat ia kenal. Chandra mendongakkan kepalanya, Cahaya. Terlihat wajah gadis itu nampak berseri tidak seperti biasanya dan itu justru membuatnya tidak suka.

“Ada, kemarin aku taruh di loker G506,” jawab Chandra datar lalu disusul anggukan dari Cahaya.
“Balik ke style awal,” gumam gadis itu sambil mengamati penampilan Chandra yang berantakan seperti biasanya.
“Kenapa?” tanya Candra yang tanpa ia sangka terdengar begitu sewot.
Sesaat Cahaya terkejut dengan nada itu, tapi segera ia menguasai dirinya dan  menggelengkan kepalanya “Hanya saja aku menemukan dirimu yang asli,” ucapnya lirih lalu  beranjak menuju rak-rak buku.
“Kamu belum traktir aku,” kata Chandra yang berhasil membuat gadis itu menghentikan langkahnya.
Cahaya menoleh sambil memicingkan matanya. “Traktir?” gumamnya tak mengerti
“Iya, traktir. Selamat karena kamu sudah jadian dengan laki-laki itu,” jawab Chandra, sebisa mungkin ia membuat nadanya stabil agar tidak kentara rasa tidak sukanya atas hal itu.
“Jadian?” gumam Cahaya yang masih tidak mengerti ucapan Chandra.
“Iya. Dibumbui pegangan tangan pula. Kamu suka laki-laki yang rapi seperti dia? Sekali lagi selamat,” ungkap Chandra yang kali ini terdengar sarat akan ketidak sukaan serta  kekanak-kanakan, ia sudah tidak bisa menutupi perasaannya.
Cahaya  bergeming dengan alisnya terangkat mendengar apa yang Chandra ungkapkan. “Aku belum jadian sama siapa-siapa. Rapi? Aku tidak terlalu suka dengan laki-laki dengan penampilan rapi. Maksud kamu apa ya?”
Mendengar hal itu Chandra terdiam sejenak. Menyadari ada kesalah pahaman di sini ia pun tersenyum lebar, dalam hati ia bersorak karena apa yang ia sangkakan semuanya salah. “Kita jadian yuk,” kata-kata itu meluncur begitu saja. Ia menatap mata gadis itu, terlihat kebingungan di sana. “Mau jadi pasangan aku?” tanya Chandra lagi.
“Kenapa baru sekarang?” ucap Cahaya dengan nada gemas seraya matanya terlihat berbinar-binar. “Aku suka kamu sejak lama. Aku kira perasaanku bertepuk sebelah tangan,” lanjutnya dan ditutup oleh senyuman manisnya. Senyuman yang selalu Chandra nantikan .
“Sudahlah semuanya salah faham. Ternyata cinta tidak jauh dari kita. Aku cinta kamu, Cahaya,” kata Chandra lirih.
Cahaya tersenyum lebar mendengarnya, ia mengangguk untuk mengamininya. Yah.. cinta memang tak pernah jauh.

Rabu, 25 Februari 2015

600 Hari

Di luar terdengar segerombolan ayam berkokok sangat merdu, seakan berkeinginan untuk membangunkan para penghuni kos agar semua penghuni mendengar kemerduan itu yang bak nyanyian hits dalam sebuah konser. Lebih dari enam ratus hari aku sudah mendengarnya, setiap hari tanpa adanya jeda kecuali saat aku pulang kampung. Entahlah apa yang dipikirkan pak kos saat memelihara ayam-ayam itu mengingat lahan kota Surabaya yang sangat padat, jika ingat ia yang seorang pengusaha harusnya ia lebih memilih membuat satu kamar kos dengan ukuran sedang bukan kandang ayam yang seukuran dengan kamar manusia, tapi untunglah begitu karenanya aku sedikit terhibur karena adanya pengganti dari sesuatu yang hilang.
 “Ia yang merangkak naik ke langit, menyuruhmu segera bangkit. Mimpi yang kau lewati tadi, ajaklah keluar menyapa pagi. Cepatlah, sungguh ku ingin kau segera pergi, menyambutku yang sedang menanti.”
Kira-kira begitulah sepenggal lirik lagu ciptaanmu. Enam ratus hari lalu lagu itu terputar, seperti biasa aku serta tidurku merasa terganggu, betapa tidak nyanyian itu sungguh tidak enak di dengar tapi aku tetap harus memakainya sebagai alarm karena dengan begitu apresiasiku terhadap karyamu terbukti nyata, namun kini sebagai bukti nyata bahwa semua sudah berbeda aku tidak pernah memakainya sebagai alarm juga tidak menyimpannya dalam kumpulan mp3-ku.
Sudah enam ratus hari sejak kejadian itu, aku tidak mengenal baik apa yang dirasa hatiku, selama itu aku merasa bukan sepenuhnya hidup karena semua yang ku coba rasa tidak berrasa. Tahukah kamu, tak terhitung banyaknya emosi yang bercampur baur karenanya, tak terhitung doa dan harapan yang terpanjat, serta tak terhitung berapa ribu cara yang telah ku lalui tapi tidak ada balasan dari ini semua. Dan apa kamu tahu, sejak itu rasanya ada kegembiraan yang tidak sempurna, ada air mata yang masih tertinggal dan ada cerita di mana belum diketahui hasilnya? Ku lewati semuanya bukan sendirian atau denganmu, tapi dengannya. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah kamu juga merasakannya? Barang sesaat saja, ku berharap kamu juga pernah merasakannya agar semua tidak menjadi bertepuk sebelah tangan.
*****
Dering telepon yang sejak tadi terdengar sengaja tidak aku acuhkan, biarlah berdering, biarlah ini menjadi tanda bahwa aku tidak seperti enam ratus hari lalu. Hari ini aku menginginkan ada perubahan lagi dalam diriku karena jika tidak semuanya akan menggantung tidak akan pernah terselesaikan. Di hari ini ku ingin kegamblangan antara aku, kamu, dan dia. Sungguh aku tahu akan berakibat seperti apa tapi aku sudah terlalu tersiksa dengan enam ratus hari itu.
Dering itu lagi, sudah lima misscall, darinya yang ku yakin sedang mengkhawatirkanku, jangan berfikir ia mengkhawatirkan kondisiku seperti biasanya tapi kini ia mengkhawatirkan hubungan kami. Ini semua karenamu, Fik.
Angkot yang ku tumpangi telah berhenti di depan gedung fakultasmu. Sesaat aku melihat gedung tempatmu menimbah ilmu, dalam hati aku turut bahagia karena cita-citamu terwujud.
Berbekal nama lengkapmu, info organisasi yang kamu ikuti, tahun angkatanmu dan asal kotamu, langkahku membelah jalanan dan para mahasiswa lain. Sesekali aku tanyakan namamu pada mereka dan beruntung karena semua data dirimu serta kamu yang memang cukup terkenal sekarang aku bisa melihatmu.
Tubuhku membeku, ada gejolak yang tidak ku mengerti hadir di diriku. Aku menatap dirimu yang sedang duduk pada bangku kosong dengan di hadapanmu ada kertas-kertas yang tidak ku mengerti isinya. Ku pandangi lebih detail, rambutmu yang cepak, matamu yang tajam, hidungmu yang tidak terlalu mancung, bibirmu yang tipis dan rahangmu yang kokoh, satu komentarku, kamu tidak berubah Fik.
Kakiku melangkah lagi sesuai instruksi otakku, perlahan ku dekati dirimu yang telah enam ratus hari menghilang dari kehidupanku, namun kamu masih saja sibuk dengan pekerjaanmu. Semakin ku dekati dirimu semakin ku ingat peristiwa itu. Maafkan aku, Fik meski aku tidak yakin ini semua kesalahanku.

“Jangan pernah dekati Aya! Jangan pernah ke rumahnya lagi!” ujar Adi saat itu.
Ragu, ku pandang dirimu yang sedang menatap Adi dengan tatapan ingin protes. Aku yang ada di tengah-tengah kalian hanya bisa mendorong tubuh Adi agar tidak bisa mendekatimu. Ku lihat sudut bibirmu yang sudah terluka itu bergerak, ku yakin bukan untuk menggeram kesakitan karena luka tapi karena kamu merasa telah diperlakukan tidak adil. Ku gelengkan kepalaku agar bisa menghentikan bibirmu untuk mengeluarkan kata-kata yang akan membuatmu lebih terluka. 
“Aya milikku! Bukan milikmu! Jadi pergi dari sini, jangan berada di daerah teritorial orang!” teriak Adi pada dirimu lagi.
Buram, semuanya tidak jelas karena air mataku yang bercucuran, dan air mataku yang mengiringi kepergianmu.

Aku semakin mendekat, tidak aku hiraukan potongan masa lalu itu karena sekarang yang aku inginkan adalah membenahi semuanya.
“Fik,” seruku ketika sudah ada di hadapanmu. Pelan kamu angkat kepalamu dan berhasil melihatku secara utuh. Mataku dan matamu saling menatap namun tatapan itu berbeda. “Akhirnya aku berhasil menemuimu,” kataku yang berusaha tidak mempedulikan kedataranmu. “I miss you.”
Kamu suka musim semi, kamu bercita-cita akan ke negeri sakura saat musim semi namun taukah kamu aku baru saja mengalami musim semi. Meski sedetik aku bisa merasakan datarmu mencair hingga air itu seakan bunga yang berjatuhan di tanah, seperti musim semi.
Kamu tundukkan wajahmu sebentar, terlihat rahangmu melonggar. Ku tahu waktunya sekarang untuk meluncurkan semua kejujuran ini.
“Sepertinya dewa sedang berpihak padaku karena bisa menemuimu, bisakah kita bicara? Tolong jangan ditolak karena tolakan kali ini akan benar-benar membuatku hancur dan dengan begitu kamu menegaskan bahwa hubungan kita berakhir dengan buruk.”
“Aku tidak pernah menginginkan ini, Aya. Tapi posisiku yang mengharuskan begini. Adi benar, tidak sepantasnya aku ada di tengah hubungan kalian.” Katanya sambil menatapku.
“Aku melakukan halku dan kau melakukan halmu. Aku tidak berada di dunia ini untuk berbuat sesuai dengan harapan-harapanmu. Dan kau tidak berada di dunia ini untuk berbuat sesuai dengan harapan-harapanku. Kau adalah kau dan aku adalah aku. Dan apabila kita saling bertemu maka hal itu baik. Kalau tidak, maka tidak berbuat apa-apa.” ujarku pelan.
“Kutipan doa Gestalt-nya Perls.” Katamu sambil tersenyum kecil.
“Maka dari itu, untuk kali ini saja jangan memikirkan harapan orang lain, pikirkan harapanmu dan jadikan nyata. Aku berbuat demikian, dan yang ingin aku katakan adalah aku menyayangimu Fik. Aku menyukaimu, aku sangat mencintaimu,” ucapku yang tidak terasa membuat air mataku tumpah.
Ku lihat kamu menunduk, cukup lama hingga akhirnya kamu menatapku lagi dengan tatapan teduhmu seperti dulu. “Aku juga merasakan hal yang sama, Aya,” katamu pelan.
“Jadi bisakah hubungan kita membaik?” ucapku cepat setelah mendengar berita bagus itu.
Hening. 
Kamu hanya menatapku dan aku menatapmu. Ruang dan waktu seakan berhenti saat itu. Harapanku seperti lagu yang dulu selalu membangunkanku, menghiasi awal hariku, aku ingin seperti dulu dengan status yang baru, ku harap kamu mengerti meski tidak pernah terucap, seharusnya kamu mengerti karena aku telah memberi kode akan hal itu. tapi... sudahlah, itu dulu.
“Pasti. Asal kamu masih bersama Adi dan aku di sampingmu sebagai sahabat, bukan orang yang ada di tengah-tengah hubungan kalian. enam ratus hari sudah kita lewati dengan tidak bersama karena memang sepertinya takdir hanya menginginkan kita untuk bersama dalam persahabatan. Kamu tetap menjadi milik Adi dan aku yang masih menantikan kekasihku.”
Hening.
Kamu dengar mas Adi? Itulah ending dari hubungan kita bertiga, aku masih milikmu walaupun hati ini tidak sepenuhnya milikmu.