Kamis, 26 Maret 2015

KEMBALI


Ada yang kembali
Singgah beberapa waktu
Singgah sebagai pengingat dia ada

Dia yang kembali
Bukan singgah untuk selamanya
Tapi hanya satu helaan napas
Begitu singkat, begitu berat

Dia yang kembali
Akan kembali bukan di tempat ini
Akan kembali menjadi dirinya yang seorang penjelajah
Menjadi pemimpi yang mewujudkan mimpi tingginya

Dia yang kembali
Entahlah...
Mungkin tak berjodoh
Atau mungkin kita memang dijodohkan untuk berjarak

Dia yang kembali
Aku melepasmu, Pergilah ...
Aku akan menikmatinya, menikmati saat kau pergi tak terjangkau olehku

Dia...
Kembali untuk kembali
Kembali untuk pergi jauh

Tidak Jauh

Sembraut warna merah menyebar di atas langit yang tadinya berwarna biru. Burung-burung beterbang serta berkicau seakan ingin menjadi saksi turunnya sang fajar dan terlihatnya sang rembulan serta bintang. Detik demi detik, menit demi menit berjalan sesuai rencanaNYA hingga langit menghitam dan bulan serta bintang menguasai sang malam.
Dari bawah terlihat seorang gadis yang bernama Cahaya sedang berjalan tergesah-gesah, sinar bintang dan lampu-lampu jalan menerangi langkahnya. Ia menatap jam tangan yang dikenakan, ia dibuat semakin panik sesudahnya, ia mempercepat lajunya.
Cahaya harus melalui gang-gang sempit yang mengharuskannya lebih hati-hati agar tidak bersenggolan dengan dinding dan juga pengguna jalan lain. Ia sedikit bernapas lega setelah sampai di sebuah gedung A kampusnya yang menjadi tujuannya.
“Telat sepuluh menit. Ayo cepat!” seru seorang pria saat ia akan menaiki anak tangga.
Ia mendongakkan kepalanya untuk mengetahui si empu suara. Ternyata Chandra, salah seorang pegawai perpustakaan di kampusnya. Ia hanya mengangguk untuk menanggapi seruannya setelahnya ia memberi kode untuk melanjutkan langkahnya menuju kelasnya. 
Sesampainya di depan kelas ia mengetuk pintu, tanpa menunggu balasan dari seseorang yang berada di dalam kelas ia langsung membuka pintu.  
“Cahaya Wulandari?” seru seorang wanita paruh baya yang ia ketahui sebagai dosennya dengan nada tinggi menyerukan nama lengkap gadis itu.
“Maaf Bu saya terlambat karena tadi ada kerjaan tambahan dari kantor,” ucap Cahaya menanggapi.
“Lagi?” tanya sang dosen dengan nada mengejek sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu sudah memutuskan untuk kuliah sambil kerja, seharusnya manajemen waktumu juga diefektifkan. Kali ini saya tidak bisa mentolerir keterlambatan kamu, keluar dari kelas saya!” ujar sang dosen dengan ketus.
“Tapi bu....” ucap gadis itu ingin membela diri.
“Keluar!” ujar wanita paruh baya itu dengan mengibaskan tangannya tanda mengusir.
Mau tidak mau Cahaya menuruti perintah sang dosen. Ia memundurkan langkahnya kemudian menutup pintu kelas. Ia berjalan meninggalkan kelasnya dan memilih menuju perpustakaan sambil menunggu kuliah jam keduanya.
Sesampainya di depan perpustakaan ia membuka pintu perpustakaan dengan tak bertenaga karena ia merasa jengkel atas perlakuan dosennya. Sapaan dari penjaga perpus terdengar. Ia menoleh pada asal suara dan benarlah bahwa Chandra orangnya. Ia memilih untuk berjalan ke arah pria itu. Dalam perjalanan ia sedikit terkejut dengan penampilan pria itu yang tidak ia perhatikan tadi saat berpapasan, karena sepengetahuannya Chandra adalah pria yang cuek dengan penampilannya, sehari-harinya pria itu hanya menggunakan hem yang lengannya ditekuk sembarangan sampai siku serta ujung bajunya tidak ia masukkan ke dalam celananya, rambut yang tidak tersisir rapi namun kali ini berbeda.
“Rapi? Hayo mau ketemu siapa?” ujar gadis tersebut dengan nada menyelidik.
“Biasa saja,” jawab pria itu singkat.
Tentu ia tidak percaya. Ia lebih mengamati pria yang kini ada di hadapannya. Chandra memakai hem garis-garis berwarna biru lengan panjang yang dikancing rapi, bajunya dimasukkan ke dalam celana panjang berwarna hitam dengan rapi, rambutnya terlihat habis disisir rapi hingga tidak ada satu pun rambut yang keluar dari jalurnya, wajahnya terlihat fresh tanpa keringat hingga membuat wajah pria itu nampak lebih tampan dari biasanya.
Melihat perubahan yang drastis itu ia semakin tidak percaya, namun ia bukan tipe orang yang suka memaksa orang untuk bercerita padanya jadi ia memilih untuk tersenyum seraya berkata, “semoga sukses,” dan beranjak menuju rak-rak buku.
“Atas?”
Suara pria itu menghentikan langkahnya. “Atas semua yang akan, saat dan sesudah kamu kerjakan,” jawab gadis itu sambil melenggang pergi.
“Tas!”
Suara Chandra menghentikan langkah Cahaya lagi, ia menoleh “hmm?” gumamnya.
“Tas ditaruh di tempatnya,” ujar Chandra sambil menunjuk lemari tas yang tersedia.
Mendengar itu ia menyeringai kecil kemudian melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Chandra. Setelahnya ia berjalan menuju rak-rak buku psikologi. Ia mencari buku psikologi yang isinya terkait cinta. Sudah sejak lama ia ingin tahu definisi yang sebenarnya dari cinta namun baru sekarang ia menuruti keinginannya tersebut. Mungkin karena sekarang ia sedang ingin memastikan perasaannya.
Ia mendapatkan buku yang ia cari. Ia memutuskan untuk membaca buku tersebut di meja yang telah disediakan. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat wajah Chandra yang nampak serius dengan pekerjaannya. Tanpa sengaja ia tersenyum dibuatnya. Ia selalu suka melihat wajah serius dari pria itu. Deg.. ia merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, ini selalu terjadi disaat-saat seperti ini. Mungkinkah ini?
Tiba-tiba mata gadis itu melebar ketika melihat pemandangan yang tak biasa. Chandra tersenyum lebar tapi bukan padanya melainkan pada seorang gadis yang sedang berjalan menghampirinya. Melihat itu ia merasa sangat kecewa karena selama ini ia tidak pernah mendapatkan senyuman itu. Dari tempatnya, ia menyaksikan berkali-kali senyuman itu hadir disela-sela percakapan mereka yang tidak bisa ia dengar. Sekarang ia tahu alasan perubahan penampilan Chandra, pastilah untuk gadis itu.
Ia menundukkan kepalanya tak mau menatap arah sana lagi, ia tidak mau perasaannya semakin teraduk karenanya. Dan karena itulah ia meyakini bahwa perasaannya pada Chandra adalah cinta tapi cinta itu hanya miliknya, cintanya bertepuk sebelah tangan dan ia harus rela dengan semua ini.  
*****
“Aku suka kamu menuruti saranku. Kamu tampak jauh lebih baik dari sebelumnya,” kata Tania dengan puas sambil mengamati penampilan Chandra.
Chandra tersenyum kepada cewek yang ada di hadapannya. “Oh ya?”  
“Jelas iya. Dengan begini aku yakin pasti kamu bakal sukses menaklukkan gadis itu,” kata Tania penuh keyakinan dan mau-tidak mau Chandra harus menggelengkan kepala atas ulah gadis itu namun setelahnya ia tersenyum lebar sebagai kata ganti ‘amin’ karena itulah yang ia harapkan. “Jangan lupa traktir kalau sudah berhasil,” kata gadis itu lagi dengan nada berbisik dan ditutup oleh senyuman.
“Kamu orang pertama yang mendapatkannya,” jawab Chandra dengan berbisik pula dan membalas senyumannya itu.
“Akan ku tunggu. Tepati janji kamu, siapa dia? Apa dia ada di sini?” tanya Tania.
Chandra mengangguk, “ke arah jam 12,” jawabnya sambil melirik sekilas pada meja tempat gadis yang ia cintai berada.
Tania langsung menuruti perintahnya, “Cahaya?” ujarnya kaget karena ia tidak menyangka Chandra mencintai teman yang satu jurusan dengannya walaupun beda angkatan, karena memang Chandra tidak pernah memberitahu nama gadis yang dicintainya, Chandra hanya memberi ciri-ciri gadis tersebut dan barulah kali ini Chandra memberitahu siapa gadis tersebut sesuai janjinya.
“Ssttt..” gumam Chandra sebal. Dalam hati Chandra mengutuk gadis ini.
Mendaptkan itu Tania tersenyum minta maaf atas perbuatannya. “Sori. Itu karena aku terlalu terkejut. Nggak nyangka aja ternyata Cahaya orangnya,” katanya lirih. “Kalau begitu aku pergi dulu. Pepet terus sampai dia merepet. Semangat!” ujarnya lagi yang ditutup dengan senyuman lebar lalu pergi meninggalkan perpustakaan.
Chandra menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian ia mengarahkan pandangannya untuk menatap gadis yang berhasil membuatnya merubah penampilannya dan sedikit banyak cara berfikir serta kepribadiannya yang sedikit banyak selalu acuh tak acuh. Yah.. dia telah merubah hidupnya dengan cara-caranya yang mengesankan tanpa terkesan menggurui.
 Chandra mencoba untuk fokus dalam pekerjaannya tanpa memikirkan Cahaya terlebih dahulu. Ia menyalin laporan peminjaman buku ke dalam komputer. Dalam pengerjaannya ia berusaha untuk tidak terganggu oleh bayang-bayang gadis itu tapi semakin ia mencoba menepis bayangan itu semakin jelas.
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan maksud untuk mengusir bayangan tersebut. Kembali, ia menatap arah jam 12, matanya melebar seketika ketika melihat gadis yang ia cintai sedang terlibat pembicaraan dengan seorang pria yang cukup sering ia jumpai terlebih saat bersama Cahaya. Entah mengapa perasaan tidak suka juga kegeraman merasukinya. Ia terus mencoba bertahan di tempatnya karena tidak mungkin ia langsung mendatangi gadis itu dan melabrak mereka karena kecemburuannya. Lagi, posisinya sekarang adalah bukan siapa-siapa jadi ia tidak berhak melakukannya.
Ia terus memperhatikan gerak-gerik Cahaya dengan pria di sampingnya. Pertahanannya hancur seketika saat ia melihat tangan Cahaya digenggam oleh lelaki itu dan yang membuatnya semakin hancur ketika ia melihat sebuah tatapan serta senyuman lebar dari keduanya. Terlihat mereka begitu mesrah.
Tangan Chandra mengepal karena kegeramannya. Kini ia menyadari posisinya yang sebenarnya dan perubahan yang ia lakukan telah sia-sia.
*****
Keesokan harinya...
“Ndra, buku yang kemarin mau aku pinjam masih ada?” terdengar suara gadis yang sangat ia kenal. Chandra mendongakkan kepalanya, Cahaya. Terlihat wajah gadis itu nampak berseri tidak seperti biasanya dan itu justru membuatnya tidak suka.

“Ada, kemarin aku taruh di loker G506,” jawab Chandra datar lalu disusul anggukan dari Cahaya.
“Balik ke style awal,” gumam gadis itu sambil mengamati penampilan Chandra yang berantakan seperti biasanya.
“Kenapa?” tanya Candra yang tanpa ia sangka terdengar begitu sewot.
Sesaat Cahaya terkejut dengan nada itu, tapi segera ia menguasai dirinya dan  menggelengkan kepalanya “Hanya saja aku menemukan dirimu yang asli,” ucapnya lirih lalu  beranjak menuju rak-rak buku.
“Kamu belum traktir aku,” kata Chandra yang berhasil membuat gadis itu menghentikan langkahnya.
Cahaya menoleh sambil memicingkan matanya. “Traktir?” gumamnya tak mengerti
“Iya, traktir. Selamat karena kamu sudah jadian dengan laki-laki itu,” jawab Chandra, sebisa mungkin ia membuat nadanya stabil agar tidak kentara rasa tidak sukanya atas hal itu.
“Jadian?” gumam Cahaya yang masih tidak mengerti ucapan Chandra.
“Iya. Dibumbui pegangan tangan pula. Kamu suka laki-laki yang rapi seperti dia? Sekali lagi selamat,” ungkap Chandra yang kali ini terdengar sarat akan ketidak sukaan serta  kekanak-kanakan, ia sudah tidak bisa menutupi perasaannya.
Cahaya  bergeming dengan alisnya terangkat mendengar apa yang Chandra ungkapkan. “Aku belum jadian sama siapa-siapa. Rapi? Aku tidak terlalu suka dengan laki-laki dengan penampilan rapi. Maksud kamu apa ya?”
Mendengar hal itu Chandra terdiam sejenak. Menyadari ada kesalah pahaman di sini ia pun tersenyum lebar, dalam hati ia bersorak karena apa yang ia sangkakan semuanya salah. “Kita jadian yuk,” kata-kata itu meluncur begitu saja. Ia menatap mata gadis itu, terlihat kebingungan di sana. “Mau jadi pasangan aku?” tanya Chandra lagi.
“Kenapa baru sekarang?” ucap Cahaya dengan nada gemas seraya matanya terlihat berbinar-binar. “Aku suka kamu sejak lama. Aku kira perasaanku bertepuk sebelah tangan,” lanjutnya dan ditutup oleh senyuman manisnya. Senyuman yang selalu Chandra nantikan .
“Sudahlah semuanya salah faham. Ternyata cinta tidak jauh dari kita. Aku cinta kamu, Cahaya,” kata Chandra lirih.
Cahaya tersenyum lebar mendengarnya, ia mengangguk untuk mengamininya. Yah.. cinta memang tak pernah jauh.

Rabu, 25 Februari 2015

600 Hari

Di luar terdengar segerombolan ayam berkokok sangat merdu, seakan berkeinginan untuk membangunkan para penghuni kos agar semua penghuni mendengar kemerduan itu yang bak nyanyian hits dalam sebuah konser. Lebih dari enam ratus hari aku sudah mendengarnya, setiap hari tanpa adanya jeda kecuali saat aku pulang kampung. Entahlah apa yang dipikirkan pak kos saat memelihara ayam-ayam itu mengingat lahan kota Surabaya yang sangat padat, jika ingat ia yang seorang pengusaha harusnya ia lebih memilih membuat satu kamar kos dengan ukuran sedang bukan kandang ayam yang seukuran dengan kamar manusia, tapi untunglah begitu karenanya aku sedikit terhibur karena adanya pengganti dari sesuatu yang hilang.
 “Ia yang merangkak naik ke langit, menyuruhmu segera bangkit. Mimpi yang kau lewati tadi, ajaklah keluar menyapa pagi. Cepatlah, sungguh ku ingin kau segera pergi, menyambutku yang sedang menanti.”
Kira-kira begitulah sepenggal lirik lagu ciptaanmu. Enam ratus hari lalu lagu itu terputar, seperti biasa aku serta tidurku merasa terganggu, betapa tidak nyanyian itu sungguh tidak enak di dengar tapi aku tetap harus memakainya sebagai alarm karena dengan begitu apresiasiku terhadap karyamu terbukti nyata, namun kini sebagai bukti nyata bahwa semua sudah berbeda aku tidak pernah memakainya sebagai alarm juga tidak menyimpannya dalam kumpulan mp3-ku.
Sudah enam ratus hari sejak kejadian itu, aku tidak mengenal baik apa yang dirasa hatiku, selama itu aku merasa bukan sepenuhnya hidup karena semua yang ku coba rasa tidak berrasa. Tahukah kamu, tak terhitung banyaknya emosi yang bercampur baur karenanya, tak terhitung doa dan harapan yang terpanjat, serta tak terhitung berapa ribu cara yang telah ku lalui tapi tidak ada balasan dari ini semua. Dan apa kamu tahu, sejak itu rasanya ada kegembiraan yang tidak sempurna, ada air mata yang masih tertinggal dan ada cerita di mana belum diketahui hasilnya? Ku lewati semuanya bukan sendirian atau denganmu, tapi dengannya. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah kamu juga merasakannya? Barang sesaat saja, ku berharap kamu juga pernah merasakannya agar semua tidak menjadi bertepuk sebelah tangan.
*****
Dering telepon yang sejak tadi terdengar sengaja tidak aku acuhkan, biarlah berdering, biarlah ini menjadi tanda bahwa aku tidak seperti enam ratus hari lalu. Hari ini aku menginginkan ada perubahan lagi dalam diriku karena jika tidak semuanya akan menggantung tidak akan pernah terselesaikan. Di hari ini ku ingin kegamblangan antara aku, kamu, dan dia. Sungguh aku tahu akan berakibat seperti apa tapi aku sudah terlalu tersiksa dengan enam ratus hari itu.
Dering itu lagi, sudah lima misscall, darinya yang ku yakin sedang mengkhawatirkanku, jangan berfikir ia mengkhawatirkan kondisiku seperti biasanya tapi kini ia mengkhawatirkan hubungan kami. Ini semua karenamu, Fik.
Angkot yang ku tumpangi telah berhenti di depan gedung fakultasmu. Sesaat aku melihat gedung tempatmu menimbah ilmu, dalam hati aku turut bahagia karena cita-citamu terwujud.
Berbekal nama lengkapmu, info organisasi yang kamu ikuti, tahun angkatanmu dan asal kotamu, langkahku membelah jalanan dan para mahasiswa lain. Sesekali aku tanyakan namamu pada mereka dan beruntung karena semua data dirimu serta kamu yang memang cukup terkenal sekarang aku bisa melihatmu.
Tubuhku membeku, ada gejolak yang tidak ku mengerti hadir di diriku. Aku menatap dirimu yang sedang duduk pada bangku kosong dengan di hadapanmu ada kertas-kertas yang tidak ku mengerti isinya. Ku pandangi lebih detail, rambutmu yang cepak, matamu yang tajam, hidungmu yang tidak terlalu mancung, bibirmu yang tipis dan rahangmu yang kokoh, satu komentarku, kamu tidak berubah Fik.
Kakiku melangkah lagi sesuai instruksi otakku, perlahan ku dekati dirimu yang telah enam ratus hari menghilang dari kehidupanku, namun kamu masih saja sibuk dengan pekerjaanmu. Semakin ku dekati dirimu semakin ku ingat peristiwa itu. Maafkan aku, Fik meski aku tidak yakin ini semua kesalahanku.

“Jangan pernah dekati Aya! Jangan pernah ke rumahnya lagi!” ujar Adi saat itu.
Ragu, ku pandang dirimu yang sedang menatap Adi dengan tatapan ingin protes. Aku yang ada di tengah-tengah kalian hanya bisa mendorong tubuh Adi agar tidak bisa mendekatimu. Ku lihat sudut bibirmu yang sudah terluka itu bergerak, ku yakin bukan untuk menggeram kesakitan karena luka tapi karena kamu merasa telah diperlakukan tidak adil. Ku gelengkan kepalaku agar bisa menghentikan bibirmu untuk mengeluarkan kata-kata yang akan membuatmu lebih terluka. 
“Aya milikku! Bukan milikmu! Jadi pergi dari sini, jangan berada di daerah teritorial orang!” teriak Adi pada dirimu lagi.
Buram, semuanya tidak jelas karena air mataku yang bercucuran, dan air mataku yang mengiringi kepergianmu.

Aku semakin mendekat, tidak aku hiraukan potongan masa lalu itu karena sekarang yang aku inginkan adalah membenahi semuanya.
“Fik,” seruku ketika sudah ada di hadapanmu. Pelan kamu angkat kepalamu dan berhasil melihatku secara utuh. Mataku dan matamu saling menatap namun tatapan itu berbeda. “Akhirnya aku berhasil menemuimu,” kataku yang berusaha tidak mempedulikan kedataranmu. “I miss you.”
Kamu suka musim semi, kamu bercita-cita akan ke negeri sakura saat musim semi namun taukah kamu aku baru saja mengalami musim semi. Meski sedetik aku bisa merasakan datarmu mencair hingga air itu seakan bunga yang berjatuhan di tanah, seperti musim semi.
Kamu tundukkan wajahmu sebentar, terlihat rahangmu melonggar. Ku tahu waktunya sekarang untuk meluncurkan semua kejujuran ini.
“Sepertinya dewa sedang berpihak padaku karena bisa menemuimu, bisakah kita bicara? Tolong jangan ditolak karena tolakan kali ini akan benar-benar membuatku hancur dan dengan begitu kamu menegaskan bahwa hubungan kita berakhir dengan buruk.”
“Aku tidak pernah menginginkan ini, Aya. Tapi posisiku yang mengharuskan begini. Adi benar, tidak sepantasnya aku ada di tengah hubungan kalian.” Katanya sambil menatapku.
“Aku melakukan halku dan kau melakukan halmu. Aku tidak berada di dunia ini untuk berbuat sesuai dengan harapan-harapanmu. Dan kau tidak berada di dunia ini untuk berbuat sesuai dengan harapan-harapanku. Kau adalah kau dan aku adalah aku. Dan apabila kita saling bertemu maka hal itu baik. Kalau tidak, maka tidak berbuat apa-apa.” ujarku pelan.
“Kutipan doa Gestalt-nya Perls.” Katamu sambil tersenyum kecil.
“Maka dari itu, untuk kali ini saja jangan memikirkan harapan orang lain, pikirkan harapanmu dan jadikan nyata. Aku berbuat demikian, dan yang ingin aku katakan adalah aku menyayangimu Fik. Aku menyukaimu, aku sangat mencintaimu,” ucapku yang tidak terasa membuat air mataku tumpah.
Ku lihat kamu menunduk, cukup lama hingga akhirnya kamu menatapku lagi dengan tatapan teduhmu seperti dulu. “Aku juga merasakan hal yang sama, Aya,” katamu pelan.
“Jadi bisakah hubungan kita membaik?” ucapku cepat setelah mendengar berita bagus itu.
Hening. 
Kamu hanya menatapku dan aku menatapmu. Ruang dan waktu seakan berhenti saat itu. Harapanku seperti lagu yang dulu selalu membangunkanku, menghiasi awal hariku, aku ingin seperti dulu dengan status yang baru, ku harap kamu mengerti meski tidak pernah terucap, seharusnya kamu mengerti karena aku telah memberi kode akan hal itu. tapi... sudahlah, itu dulu.
“Pasti. Asal kamu masih bersama Adi dan aku di sampingmu sebagai sahabat, bukan orang yang ada di tengah-tengah hubungan kalian. enam ratus hari sudah kita lewati dengan tidak bersama karena memang sepertinya takdir hanya menginginkan kita untuk bersama dalam persahabatan. Kamu tetap menjadi milik Adi dan aku yang masih menantikan kekasihku.”
Hening.
Kamu dengar mas Adi? Itulah ending dari hubungan kita bertiga, aku masih milikmu walaupun hati ini tidak sepenuhnya milikmu. 

Jumat, 27 Juni 2014

CABANG TANGKAI BUNGA
Seluit sepasang manusia penuh keintiman dalam cahaya sore kemerahan. Tak jelas apa yang membuat mereka begitu terlihat intim dan bahagia. Mungkin karena sosok mereka yang berdekatan. Dan mungkin dari seyum dan mata mereka yang terpancar. Sepasang manusia yang serasi, memadu rasa yang tak jelas apa dan berlandaskan apa.
Mataku masih terpaku. Sepasang yang sangat ku kenal, tak perlu aku mempertegas mereka siapa dalam hidupku, yang jelas mereka adalah sepasang manusia yang dulu begitu berarti untukku. Tak kan pernah berarti hidupku tanpa mereka. Warna-warni dunia serta gemerlapnya tak kan pernah aku jamah jika aku tanpa mereka. Begitu berarti dan kini begitu menyakiti.
Perlahan tetes air mata terjatuh dari pelupuk mata. Segera tanganku menghapusnya, tidak boleh ada air mata. Dan.. ah, Ya ampun, aku merasa hatiku tercabik lagi. Cabikan yang sudah tak seberapa sakit dari pada dulu. Aku mengenyahkannya. Tidak boleh. Hal ini bukan sesuatu yang perlu di tangisi melainkan disyukuri. Biarkan rasa sakit karena cabikan itu mengalir dan musnah begitu saja. Ini hanya sementara, sakit ini hanya karena marah, sakit karena kecewa dan nantinya bahagia karena telah membalasnya.
Aku menghembuskan napas perlahan. Aku sudah sejauh ini berada di sini, di tengah taman yang hanya berjarak 10 meter dari pasangan itu. Mereka masih belum menyadari keberadaanku, tadinya begitu sulit dan berat menjalankan sepasang kaki ini untuk melangkah ke tempat ini. Dan kini hanya beberapa langkah lagi sampai pada tujuanku meski harus menggeret kaki ini lagi yang semakin mengelu.
Sempat aku menuruti sudut hati yang entah bagian mana untuk pergi dari sini tapi tidak, pergi berarti membawakan pasangan itu kalung bunga yang cantik sedang aku ingin mempersembahkan mereka sepasang ular. Sepasang ular yang bisa aku kenakan pada leher mereka seperti kalung. Sebuah hadiah yang pasti diluar dugaan yang mereka dan membuat mereka kehilangan napas.
Aku paksakan bibirku tersenyum sebagai latihan untuk diberikan kepada mereka sesaat lagi. Awalnya yang muncul hanya senyuman kecil dan sekilas mirip sebuah cengiran mencemooh. Tidak senyuman ini tidak bisa aku berikan pada mereka.
Percobaan kedua aku menarik sudut bibirku lebih lebar dan intensitas lebih lama. Tidak, senyuman ini juga tidak bisa diberikan pada mereka, senyuman kali ini mirip senyuman badut tolol.
Sekali lagi. Aku akan mencoba latihan tersenyum sekali lagi. Sebelum memulai aku terlebih dahulu membuang zat co2 lewat mulutku. Kutarik perlahan kedua sudut bibirku secara halus, tidak terlalu lebar dan dengan waktu yang cukup untuk tersenyum alami, ku tambahkan juga pancaran mata yang seakan ikut tersenyum. Sempurna.
Kakiku bergerak maju, langkah kecil dan sebisa mungkin terlihat tenang. Jarak ku dengan mereka semakin dekat dan hatiku... ah jujur ini masih terasa menyakitkan namun tidak, rasa ini harus hilang. Nantinya aku harus merasa bahagia melihat mereka tetap bersama atau pun berpisah.
“Sayang, kok ada di sini?” ujarku penuh dengan nada mesrah dan kerinduhan. Aku langsung memeluk sosok cowok dari pasangan itu. Tidak lupa aku juga mencubit pipinya seperti yang biasa aku lakukan dengan gemas disela-sela pelukanku. Gemas? Ah tidak sekarang bukan gemas namun lebih ke arah kebencian walaupun cubitannya tidak akan terasa sakit. “Miss you..” gumamku lembut.
Aku merasakan tangan si cowok mengapit pinggangku dan membalas pelukanku. Dan berbisik “Miss you too,” dengan sangat mesra seperti saat ia menembakku dulu.  Dalam hati aku tersenyum puas. Aku rasakan juga sebuah ciuman mendarat ke pipiku. Kini  dalam hati aku tertawa-tawa.
“Lihat dia lebih mengagumi dan menyayangiku ketimbang kamu,” ucap dari bagian diriku pada sang cewek. Aku memaklumi ucapan dari bagian diriku itu, yah cewek itu tidak akan pernah bisa mendapatkan pelukan dan ciuman ini di tengah keramaian dan bahkan disuatu tempat sepi sekalipun karena memang ia hanya daun yang ada di batang bungaku dan entah bagaimana caranya berubah menjadi bunga yang bercabang pada tangkaiku, kemudian membuat kumbangku memperhatikannya dan turut menghisap madunya.
Tak ada yang perlu disalahkan ataupun dibetulkan di sini, yang jelas aku akan segera membuat cabang tangkaiku patah agar ia hilang dan mati dalam kehidupanku, kemudian secepatnya aku memproduksi zat beracun untuk sang kumbang. Biar saja ia ikut mati saat menghisap madu bungaku.
“Sayang, kenapa nggak bilang sedang ada di sini sama Puspa?” tanyaku sambil menjauhkan tubuhku dari cowok itu. Namun usahaku gagal karena tangannya masih merengkuhku seakan tak mau melepaskanku.
“See? Dia tidak mau melepasku dan kamu akan segera dilepaskannya atas perintahku atau pun kemauannya,” kata bagian dari diriku lagi.
“Sayang, malu sama Puspa,” kataku lagi sambil menjauhkan tubuhku lagi namun kini dengan sedikit kasar. “Kasian dia kalau iri sama kita, dia ‘kan belum punya pacar,” tambahku sambil tersenyum ke arah Puspa. “Lain lagi kalau dia udah punya.”
Terlihat ia baru mengangkat wajahnya setelah perkataanku, sedetik aku menangkap ekspresinya yang sudah pasti marah karena harga dirinya sudah aku jatuhkan secara halus. 
 “Asal bukan dengan cara merebut pacar orang saja,” kataku lagi. Aku melihat ke arah mereka secara bergantian. Dino nampak pucat begitu pula Puspa. Itu ekspresi yang aku tunggu. Mau-tidak mau aku memaksakan sebuah tawa muncul, sebisa mungkin tidak hambar dan dalam waktu yang tidak terlalu singkat.
“Becanda. Nggak mungkinlah sahabatku ini melakukan sesuatu yang nggak beretika,” ujarku setelah tawaku berhenti.
Dino akhirnya tersenyum padaku sambil membelai rambutku yang lurus sebahu dengan lembut.
Puspa juga ikut tersenyum, namun ia tidak bisa berakting sebaik diriku. Senyumnya nampak terpaksa.
“Santi, Dino. Aku balik duluan ya kasian Bunda nunggu aku terlalu lama,”ucap Puspa dengan nada lemah lembutnya dan berlalu begitu saja sebelum mendapat tanggapan dari kami.
Aku menatap langkah cewek itu, begitu cepat dan terasa begitu getir. Sebisa mungkin aku mengendalikan rasa simpatiku, rasa itu harus hilang. bukan aku yang memulainya tapi dia. 
Pelan ku hembuskan napas lalu tersenyum pada Dino. Terlihat ia balas tersenyum. 
Bagaimana bisa aku tidak mengetahuinya? Kalian yang tidak secerdik kancil. Perselingkuhan kalian yang tak serapi caraku menghancurkan kalian seperti kepercayaanku pada kalian yang telah berserakan dan tak akan ku pungut lagi," kataku dalam hati

Selasa, 01 April 2014

Cerpen-LIMA


“Jika aku menyukaimu apa kamu juga menyukaiku?”
Viky menatap cewek yang ada dihadapannya dengan alis terangkat. Ia tidak menyangka cewek itu berkata demikian. Apa cewek ini sudah gila?
“Jawab. Kalau aku menyukaimu apa kamu juga menyukaiku?” tanya cewek itu lagi.
“Kamu sudah gila?” kata itu meluncur dari mulut Viky begitu saja.
Mendengar hal itu, cewek itu tertawa entah apa yang ditertawakan. Jarinya yang lentik menyentuh pipi Viky yang mulai menegang. “Ya. Aku gila,” jawabnya sambil menatap Viky menantang.
Viky terdiam beberapa saat. Apa benar cewek yang ada dihadapannya menyukainya? Jika benar, apa yang ia sukai pada dirinya? Pasti ini hanya mimpi. Batin Viky sambil melangkah melewati cewek itu.
Sesaat cewek itu belum menyadari apa yang terjadi. Cewek itu diam dengan pandangan tak percaya. “Apa kamu masih menyukai dia?” ucap cewek itu lagi setelah mendapatkan kembali kesadarannya.
Viky berhenti melengkah. Mendengar hal itu entah mengapa membuatnya teringat oleh seseorang. Ia segera menghapus ingatannya dan kembali melangkah. Kenapa juga ia mendengarkan omong kosong cewek itu.
“Sadar. Dia sudah meninggalkanmu,” kata cewek itu lagi.
Viky mendengar semua perkataan cewek itu tapi tidak menanggapi. Ia terus berjalan melewati koridor kampus. Ia terus berjalan seperti sebelum-sebelumnya. Ia akan berjalan, dan terus berjalan, tidak kan pernah berhenti. Dalam kamusnya juga tidak ada goresan cewek yang mampu menghalangi langkahnya. Benarkah?
*****
Beberapa tahun yang lalu....
Desiran angin pagi yang segar memeluk tubuhnya, ia mengeratkan jaketnya hingga angin tersebut tidak bisa masuk kedalam tulang-tulangnya. Ia berjalan kaki ditengah hiruk-pikuk jalanan yang telah ramai dengan bejubel alat transportasi kota secara hilir-mudik. Asap dan debu berbaur menjadi satu sehingga membuat kota semakin dipadati oleh polusi. Berbagai suara klakson alat transportasi terdengar, terdengar juga suara teriakan dengan nada geram. Gelengan kepala tak mengerti akan tingkah laku manusia-manusia itu tercipta olehnya.
Ia mempercepat langkahnya ketika jam tangannya telah menunjukkan pukul setengah 6 pagi. Ia berjalan tanpa memperdulikan hiruk-pikuk itu. napasnya tersengal-sengal ketika langkahnya terhenti di depan gerbang sekolah. Ia mendongakkan kepalanya ke atas, ‘SMA UTAMA’ ia telah berada di sekolahnya, di sekolah yang sangat ia banggakan.
Ia memutuskan untuk berjalan kembali, ia memasuki gedung sekolahnya yang masih sepi, ia yakin ia adalah siswa pertama-ralat orang pertama selain pak Bon yang memasuki gedung sekolah ini.
“Hei.... aku lima menit lebih dulu dari kamu!”
Terdengar suara nyaring yang melengking, Viky menoleh ke arah suara. ia melihat seorang cewek dengan seragam sekolah yang berbeda dengannya tersenyum melecehkan, namun ia nampak cantik.
“Oke, kali ini kamu yang menang,” kata Viky setelah tersadar dari pesona cewek itu.
“Apa? Kali ini? Sudah lima kali ini,” ralat cewek itu sambil menunjukkan ke-lima jarinya.
“Lalu, apa maumu?” tanya Viky, memutuskan untuk mengakui kekalahannya.
“Es Krim spongebob lima,” jawab cewek itu sambil memamerkan senyumnya yang menawan.
“Selalu saja seperti ini,” gumam Viky sambil berjalan mendekati cewek itu. “Oke, nanti aku belikan. Es krim spongebob lima. Jam tiga aku tunggu di tempat biasanya,” kata Viky sambil berjalan melewati cewek itu.
“Harus pukul LIMA sore!” kata cewek itu yang berhasil membuat Viky membalikkan badannya hingga bisa melihat cewek itu.
Viky menatap cewek itu dengan tidak suka. “Aku ada kurr--” protesnya terhenti.
“Pukul lima sore. Bye,” potong cewek itu sambil berlari meninggalkan Viky dengan rasa jengkelnya.
Selalu saja seperti itu, menemui cewek itu di hari Rabu dengan berlari secepat yang ia bisa untuk menuju ke sekolah dilanjut pada sore hari di sebuah taman sekolahnya dengan membawakan es krim spongebob lima di pukul lima sore. Kegiatan itu sudah ia lakukan berkali-kali, ia menghitung-tepatnya cewek itu yang menghitung sudah lima kali dengan hari ini.
Ia menatap punggung cewek itu yang semakin menjauh, entah mengapa senyum kecil melintasi wajah Viky. Cewek itu benar-benar membuatnya tidak karuan. Bisa-bisanya ia di buat seperti ini oleh cewek bodoh dari sekolah sebelah, sekolah dimana kualitasnya sangat rendah, berbeda dengan sekolahnya.
Viky segera menghapus fikiran-fikiran aneh yang tiba-tiba muncul. Ia memutuskan untuk pergi ke kantin ia bisa membuka buku pelajarannya selama satu jam di sana. Setiap waktu tidak boleh terbuang sia-sia.
*****
“Sudah lima menit aku menunggu kamu,” ujar Viky dengan kesal ketika cewek itu telah datang dan kini telah duduk di sampingnya. “Bukankah aku bilang kalau aku mau kursus? Jam setengah enam aku harus kursus matematika,”
“Ya..ya..ya. aku sudah mendengar lima kali kalimat itu” balas cewek itu dengan wajah bosan.
“Dan untuk ke-lima kalinya kamu tidak pernah mau tahu!” sergah Viky dengan nada yang tidak kalah sebalnya.
Mereka duduk di sebuah taman yang membatasi antara ‘SMA UTAMA’ dan ‘SMA UNGGUL. SMA UTAMA yang berdiri megah hingga lantai 6 dilengkapi oleh fasilitas yang memadai membuat SMA UTAMA menjadi sekolah terfavorit. Sedangkan SMA UNGGUL hanya memiliki gedung yang berlantai satu dengan fasilitas yang tidak lengkap menjadikannya sekolah musiman. Sekolah musiman adalah julukan SMA UNGGUL, mereka memiliki murid yang sedikit seperti musim yang ada di Indonsia. Murid 50 adalah rekor terbesar sekolah itu, sedangkan SMA UTAMA setiap tahun kebanjiran siswa yang ingin bersekolah disana dari mulai putra pejabat sampai putra orang biasa, meskipun demikian hanya anak-anak yang berprestasilah yang dapat bersekolah di sana.
 Seperti halnya sekolah, mereka pun demikian. Viky sang siswa SMA UTAMA adalah siswa yang paling berprestasi, ia telah mengukir banyak prestasi di berbagai bidang dari mulai akademik hingga non akedemik. Sedangkan cewek yang ada di sebelah Viky adalah siswi SMA UNGGUL dimana dia adalah anak termalas dan terbodoh disekolahnya. Hal itu diketahui Viky karena secara tidak sengaja ia pernah mendengarkan percakapan antara guru BK dengan cewek itu ketika ia sedang mendapat tugas ke SMA UNGGUL untuk mengundang sekolah itu dalam acara Olimpiade tahunan.
“Nih..” ucap Viky sembari menyerahkan es krim pesanan cewek itu.
Dengan semangat cewek itu meraih ke-lima es krimnya. Es krim itu ia lahap sendiri, ia tidak peduli dengan tatapan Viky yang menatapnya dengan pandangan mengejek. Ia sudah kebal dengan pandangan itu.
“Terima kasih” ujar cewek itu kepada Viky dengan seulas senyuman dan pancaran kegembiraan.   
Viky menggeleng-gelengkan kepalanya secara samar. Dosa apa ia sampai bisa bertemu dengan cewek semacam ini. Dalam waktu sekitar lima belas menit dia mampu menghabiskan es krim sebanyak itu. “Doyan atau rakus?”
“Untuk yang kelima kalinya kamu bertanya seperti itu,” kata cewek itu yang tidak menjawab pertanyaan Viky.
Mereka duduk bersebelahan dengan saling berdiam diri tidak ada yang memulai percakapan. Mereka menikmati indahnya sore di taman yang sepi. Langit mulai terlihat menggelap tapi entah mengapa mood mereka tidak turut menggelap, mood mereka seperti matahari yang bersinar cerah.
Viky menghembuskan napasnya dan melirik cewek yang duduk di sebelahnya. Cewek itu nampak tersenyum entah karena apa. Untuk sesaat ia mengagumi senyum cewek itu, untuk kesekian kalinya ia terpesona dengan senyum itu. Senyum yang selau berhasil membuatnya melambung.
“Kita lomba lari,” cetus cewek itu tiba-tiba.
Mendengar hal itu alis Viky terangkat tapi tidak menanggapi ide gila cewek itu.
“Kita lomba lari mengelilingi taman sebanyak lima kali,” ucap cwek itu lagi mempertegas idenya.
“Nggak!” jawab Viky cuek sambil mengalihkan pandangannya dari cewek itu.
“Kalau kamu kalah berarti kamu jadi pacar aku,” kata cewek itu yang mampu membuat Viky terloncat kaget. Apa cewek ini sudah gila? “Serius. Kita pacaran”  tambahnya sambil memamerkan senyumnya yang manis.
Viky terbelalak sambil terus menatap cewek di sampingnya. Yah... cewek ini pasti sudah gila.
“Dimulai dari sekarang” ucapnya beranjak dari bangku taman dan mulai berlari.
“Curang!” protes Viky sambil membuntuti cewek itu berlari.
Viky berlari dengan sekuat tenaga. Pacaran dengan cewek itu? Itu adalah hal paling bodoh yang pernah ia lakukan. Ia mempercepat larinya, mana mungkin ia yang atlet lari setingkat kota bisa dikalahkan oleh cewek kurus seperti dia.
Dia berlari sekuat tenaga. Tapi entah mengapa otot-otot kakinya semakin melemas. Ototnya seakan ingin memenangkan cewek itu dalam perlombaan ini. Bukankah cewek ini memang sudah menang darinya, sebelum ia mulai cewek ini sudah menang, ia sudah memenangkan hatinya.
Di putaran terakhir cewek itu berlari dengan lamban, terdengar suara hembusan napas yang tersiksa. Viky semakin melambatkan larinya.
“Aku menang. Kita pacaran!” ujar cewek itu dengan ceriah setelah menyelesaikan perlombaannya.
“Terserah kamu sajalah,” jawab Viky cuek tapi dalam hati ia tersenyum, ia tidak pernah mengalami kekalahan yang menyenangkan seperti ini.
“Kita pacaran selama lima hari.”
Viky menatap cewek itu dengan terkejut, kecewa dan bingung.
“Kita akan pacaran selama lima hari,” kata cewek itu mempertegas.
“Tidak. Kita akan pacaran lima tahun dan akan menikah,” ucap Viky tidak menyetujui ujapan cewek itu. Entah mengapa ucapan itu meluncur begitu saja dan hatinya meyakininya. Cewek itu yang akan menjadi pendampingnya kelak.
“Lima hari,” bantah cewek itu sambil tersenyum.
*****
“Lima... I love you” ucap Viky di depan pusara cewek yang mampu memenangkan hatinya hanya dalam waktu yang singkat. Ucapan itu berhasil ia ungkapkan setelah cewek itu meninggalkannya untuk selamanya. menyesal? Tidak, ia tidak akan menyesalinya.
Selamanya pula ia akan terus mengenangnya. Yah... cewek itu hanya mampu menjadi pacarnya selama lima hari tapi lima hari itu adalah lima hari termanis yang pernah ia tempuh. Setelah lima hari, cewek itu meninggalkannya. Ia meninggal dengan cara bunuh diri, ia melakukannya karena ia tidak mau membebani semua orang yang mencintainya. Penyakit leukimia yang membuatnya seperti itu.
Viky tersenyum lagi kepada pusara seakan ia bisa tersenyum pada si empunya. “Selamat jalan, semoga kamu bahagia di sana,” ujarnya dan berdiri meninggalkan makam Lima. Ia meninggalkan makam cewek itu dan memulainya dari awal. Ia akan terus berjalan dan menghidupkan dunianya seperti halnya Lima yang telah menghidupkan dunianya.
Lima hari termanis. Lima hari yang mampu membuatnya mengenang Lima untuk selamanya.
Lima Mandala, 05 Mei 1996-05 Mei 2013